Senin, 07 Desember 2015

Tokoh Al-Irsyad Kota Bogor



Media Al-Irsyad Bogor dengan sarana website nya, kini akan menampilkan tokoh tokoh Irsyadin Kota Bogor yang banyak berkiprah untuk kemajuan dan pembangunan Al-Irsyad Bogor pada khususnya dan Al-Irsyad pada umumnya.
Diantara tokoh tokoh itu adalah :
1. Ustadz Ja’far Balfas
2. Bapak Abdullah Bawahab
3. Ustadz Ja’far Abdat
4. Ustadz Ali Bisyir
5. Bapak Dr. Ir. Said Harran
6. Bapak Galib Aziz
7. Bapak Abdurrahman Said Bajened
8. Ibu Faizah Sungkar
9. Ibu Laila Syahbal
Dan banyak lagi tokoh tokoh Irsyadin Bogor yang lainnya yang Insya Allah akan kita tampilkan satu persatu dengan perjuangan yang telah mereka lakukan untuk kemajuan, pengembangan dan pembangunan Al-Irsyad bogor, baik dibidang Pendidikan, Da’wah , Sosial Ekonomi, Kesehatan, Wanita dan Putri.
Mudah mudahan dengan ditampilkannya tokoh tokoh ini akan memberikan semangat yang lebih tinggi kepada kaum muda untuk dapat meniru apa yang mereka telah lakukan dengan segala daya dan upaya untuk kebangkitan Al-Irsyad Bogor .
Untuk langkah awal kita memulai dengan tokoh kita yang dapat dikatakan paling senior pada saat ini di kota Bogor yaitu Ustadz Ja’far Umar balfas.
Meski usianya telah mencapai 83 tahun, namun ustadz Ja’far Umar Balfas masih tetap sehat dan bugar serta tetap bersemangat untuk mendorong kemajuan Perhimpunan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Al Irsyad harus Go Internasional! demikian pernyataan beliau yang akhir-akhir ini sering dilontarkannya dalam setiap kesempatan baik formal maupun informal. Semangatnya yang tak pernah surut tersebut merupakan ciri dari ketokohannya dalam mengabdi untuk Al-Irsyad tak dapat diragukan lagi. Dan karenanya tokoh yang satu ini namanya akan sulit dipisahkan dari Al-Irsyad.
Bila seusianya yang tergolong sepuh hanya terduduk lemah dalam penantian di akhir senja dan bahkan sudah ada yang pikun, itu tak berlaku bagi dia. Abi dari sembilan belas anak, empat diantaranya telah meninggal dunia, lima puluh dua cucu dan tiga belas cicit ini masih mampu bercerita lancar meski tidak terlalu lantang lagi seperti saat muda dulu.
Ja’far Umar Balfas atau akrab disapa Ustadz Ja’far, namanya tercatat dalam sejarah Penting Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Bogor, disamping itu pula namanya terpahat dalam sejarah panjang Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Pengabdian dan karirnya di Al-Irsyad Bogor diawali sejak tahun 1939 dalam usia yang relative masih belia, 14 tahun.
Sebagai seorang pribadi yang tekun serta berkemauan keras dalam menggapai cita-citanya, putera kedua dari Umar bin Muhammad Balfas yang dilahirkan pada tanggal
26 Desember 1925 di Jakarta ini, untuk pertama kalinya duduk dalam kepengurusan Al-Irsyad Kota Bogor sebagai anggota pembantu, yang kala itu kepengurusannya masih di dominasi oleh kalangan tua atau wulaiti, kepandaian dan kemahirannya berbahasa arab membuat beliau dengan mudah cepat berinteraksi dan disukai oleh kalangan tua. Maka tak heran dalam musyawarah cabang tanggal 12 Agustus 1950, beliau diamanahi jabatan wakil sekretaris pada periode kepemimpinan Al Ustadz Umar Sulaiman Nadji Bareba. Dan sejak itulah, alumni madrasah Al-Irsyad Bogor angkatan 1933-1946 ini mulai berkecimpung secara langsung dan memainkan peranan pentingnya di Perhimpunan Al-Irsyad dengan berbagai jabatan strategis yang dimanahkan kepadanya.
Dalam Musyawarah Cabang tanggal 25 September tahun 1955, beliau dimanahi jabatan Wakil Ketua mendampingi al-Ustadz Umar Sulaiman Nadji Baraba. Demikian pula dalam musyawarah cabang pada tanggal 1 Oktober 1958 yang mengangkat Bapak Abud Azzan Abdat sebagai ketua, jabatan wakil ketua dipercayakan kembali kepada beliau sampai dengan pemilihan ketua berikutnya pada tahun 1965 yang telah memberikan kepercayaan kepadanya untuk memimpin Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cabang
Bogor selama 12 tahun, yaitu tahun 1977 dan merupakan jabatan terlama yang pernah ada sepanjang sejarah Al-Irsyad Bogor ( periode 1965 – 1977 ).
Sebagai seorang organisatoris yang teguh pada pendirian dengan pengalaman organisasinya yang segudang dan kepiawiannya dalam berinteraksi dengan para tokoh, beliau termasuk salah seorang dari pencetus ide pendirian Yayasan Al-Irsyad Bogor dan
beliau pula yang dimanahi jabatan sebagai Ketua yang untuk pertama kalinya dibentuk pada tanggal 28 Februari 1958 dihadapan Notaris di Kota Bogor, Yohannes Lukas Laurens Wenas.
Selama masa jabatannya sebagai Ketua Yayasan yang sekaligus merangkap jabatan sebagai Ketua Pimpinan Cabang atau yang pada masa itu masih dikenal dengan istilah DPC, Ami apang demikian seorang Ir. Hamid Abdullah Balfas yang juga Ketua PC Kota Bandung, dan merupakan salah seorang keponakannya memanggil beliau sepertiitu, al Ustadz Ja’far Balfas merupakan salah seorang inisiator dan pelopor berdirinya SMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah dan sampai sekarang masih berkiprah yang didirikannya bersama sama dengan al Ustadz Hamid Hasan Al Anshory (alm), Ja’far Abdurrab Thalib (alm) dan Ali Salim Askar (alm) pada tanggal 1 Desember 1966.
Demikian pula pembentukan SMA Al-Irsyad yang pernah ada merupakan salah satu hasil dari buah fikiran beliau bersama sama dengan tokoh tokoh diatas yang dibentuknya pada tahun 1970. Tidak sedikit dari para alumni SMP dan SMA Al-Irsyad yang dibentuknya telah banyak melahirkan kader-kader Irsyadi dan kemudian memainkan peranan penting didalam memberikan kontribusinya bagi Perhimpunan, sebut saja diantaranya
seperti sekretaris PC kita Drs. Fauzi Thalib, Mansyur Balfas MBA, Faisal Munif, Ir. Said Al Ghan, Ir. Jamal Balfas MSc. (anak Ustadz Ja’far) , Ir. Najib Abdat, dan sederetan nama panjang lainnya.
Balai Pengobatan Umum Al-Irsyad Al-Islamiyyah atau Klinik Al-Irsyad yang sekarang kita kenal adalah salah satu dari monument atas jasa-jasanya, karena pada tanggal 16 September 1980, Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pada masa itu diketuai oleh Bapak Ali Azzan Abdat (alm), bersama-sama dengan Ustadz Hamid Hasan Al Anshory (alm), Bapak Ghalib Aziz, dan tokoh tokoh lainnya yang tidak disebutkan disini walaupun banyak jasanya (Jazakallah Khairan Katsiran) yang telah merintis pendirian Balai Pengobatan Umum Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang sampai dengan hari ini masih tetap ada.
Sebagai salah seorang tokoh penting di Al-Irsyad cabang Bogor, berbagai kegiatan Al-Irsyad ditingkat nasional-pun tak pernah absent beliau ikuti. Sejak penyelenggaraan Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah tahun 1940 yang berlangsung di kota Pekalongan, beliau hadir dan selalu diikutinya secara aktiv dalam berbagai kegiatan muktamar berikutnya, baik sebagai peserta penuh maupun peninjau. Dan telah banyak memberikan ide dan gagasanya sampai pada penyelenggaraan Muktamar ke 37 di Kota Bandung dan Muktamar ke 38 yang berlangsung di Cibubur, Jakarta. Bahkan, dalam resepsi penutupan
Muktamar ke 37 yang berlangsung di Gedung PUSDAI Bandung, beliau diberikan kehormatan untuk menutup secara resmi jalannya acara Mukatamar. Dan pada Muktamar ke 38 yang berlangsung di Cibubur Jakarta, beliau sebagai salah seorang tokoh Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah telah mendapatkan sebuah kehormatan untuk memberikan sambutan dan pengarahan dihadapan para muktamirin.
Meskipun beliau sebagai tokoh penting di Al-Irsyad, profesinya sebagai seorang dai telah beliau lakoni, terutama sejak tahun 1977 pada masa jabatannya sebagai Ketua Lajnah Da’wah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Berbagai kegiatan Da’wah telah dijalaninya, baik sebagai Imam Tetap, Khatib maupun Penceramah terutama yang dipusatkan di Masjid milik Al-Irsyad, masjid At Taqwa di Pekojan. Dan bahkan pengajian untuk kaum Ibu yang berlangsung pada setiap hari senin dan jum’at pagi adalah pengajian yang beliau rintis dan hingga kinipun masih berlangsung. Madrasah Diniyyah yang awalnya berlangsung di lantai satu masjid, juga merupakan inisiatipnya. Penyelenggaraan Shalat Jum’at di Masjid At Taqwa juga merupakan salah satu dari keberaniannya yang pernah beliau wujudkan, karena banyaknya polemic dan tidak sedikit tokoh-tokoh tua yang menentang untuk pertama kalinya penyelenggaraan shalat jum’at berlangsung selain di Masjid Jami Agung Empang, Bogor.
Aktivitas beliau dalam pergerakan da’wah menjadikannya salah seorang tokoh pentolan Al-Irsyad yang di hormati di Kota Bogor, berbagai jabatan penting baik dalam kegiatan da’wah lewat politik pernah dilakoninya, dan terlibat secara aktiv melalui wadah partai politik Islam Masyumi dan PARMUSI di Kota Bogor. Salah seorang Ketua dan Penasehat MUI Kota Bogor, Khatib dan Pencermah tetap sekaligus salah seorang pendiri dan pengurus DKM Masjid Agung Pasar Anyar, Imam dan Khatib tetap di Masjid Balai Kota Bogor, demikian pula menjadi penceramah dan khatib jum’at dibeberapa masjid di Kota Bogor.
Sebagai seorang tokoh besar di Al-Irsyad yang berhak mendaptkan gelar sebagai Irsyadi 24 Karat ini, kita pantas memanjatkan doa untuk semua amal ibadah yang telah beliau tanamkan bagi generasi Al-Irsyad dimasa kini dan dimasa-masa yang akan datang. Pengalaman adalah guru yang terbaik, demikian kata pepatah. Pepatah tersebut tercermin dalam diri seorang Irsyadi seperti al Ustadz Ja’far Balfas. Karena pengalamannya yang cukup banyak dan berkesan, mau tidak mau kita akan mengaguminya dan kitapun patut menjadikannya sebagai suri tauladan. Maka tak heran, kalau beliau telah berkali kali diangkat sebagai salah seorang Anggota Majelis Istisariyyah Pimpinan Pusat Al-Irsyad
Al-Islamiyyah secara berturut-turut dalam Muktamar Bandung dan Jakarta.
Satu hal dari ucapan beliau yang selalu kita ingat “ Ana tidak pernah merasa tua kalau untuk Al-Irsyad”
Mudah mudahan keteladan beliau dapat diikuti oleh para Irsyadin terutama tokoh tokoh muda kita.
Allahu yatawil umrak ya ustadz haggana, Allah Maak!!
Disarikan untuk Media Al-Irsyad Bogor, oleh : Abdullah Abu Bakar Batarfie.
Al-Ustadz Muhammad Munief (alm) adalah Profil dari Tokoh Al-Irsyad Bogor yang telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan dan  pengembangan Al-Irsyad secara keseluruhan baik untuk Al-Irsyad Bogor maupun untuk Al-Irsyad secara keseluruhan.
Berikut ini adalah tulisan yang dihimpun oleh Media Al-Irsyad Bogor untuk Website Al-Irsyad.
Tokoh kali ini yang diangkat adalah seorang Tokoh yang bukan saja ketokohannya hanya milik Al-Irsyad cabang Bogor, akan tetapi merupakan salah seorang tokoh Al-Irsyad berkaliber nasional. Atas jasanya yang besar terhadap Perhimpunan, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam Muktamarnya di Jakarta, 6 September 2007 telah menganugrahinya gelar Tokoh Pendidikan Al-Irsyad, dan karenanya photo beliau meruapakan salah satu tokoh yang telah diabadikan dalam seri perangko dalam rangka menyambut Mukatamar ke-38 oleh PT Pos Indonesia.
Bagi mereka yang pernah mengenyam pada bangku sekolah Al-Irsyad Bogor sebelum tahun 1975, tentu mereka akan mengenal lebih dekat dengan seorang tokoh kahrismatik yang memiliki peranan amat penting dalam Perhimpunan Al-Irsyad, terutama sekali dalam dunia pendidikan.
Sebagai salah seorang pendidik dan kepala sekolah Al-Irsyad Bogor sejak tahun 1930-an, al Ustadz Muhammad Munif merupakan tokoh yang bukan saja telah banyak melahirkan generasi pelanjut dari estafet kepemimpinan di Al-Irsyad Bogor, anak didiknya yang kini telah tersebar diberbagai pelosok cabang al-Irsyad di Indonesia, merupakan benih benih yang beliau tanam dan telah menjadi kader kader Irsyadi.
Asramanya yang terkenal, At Taujih Al-Islami yang berlokasi persis dibelakang rumah beliau di gang apu, bondongan Bogor. Adalah basis dimana beliau telah mencurahkan dan mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan, sebagai sebuah kesinambungan dari pemikiran ketauladanan gurunya, Syech Ahmad Surkati.
Tidak sedikit dari anak didik beliau yang pernah menghuni asaramanya, kini telah telah menjadi kader-kader irsyadi yang patut untuk dibanggakan. Sekaliber bang Lutfie Attamimi, bos majalah Islam Sabili, almarhum Maman Abdurrahman bin Sillim, mantan Sekretaris Wilayah Al-Irsyad Jabar, dan seabrek kader kader lainnya adalah mereka mereka yang pernah menghuni dan mendapatkan gemblengan alustadz di asramanya.
Tokoh tokoh Al-Irsyad Bogor seperti, ustadz Ja’far Balfas, Ustadz Usman Amir(alm), Ustadz Abdullah Karamah(alm), Ustadz Hasyim Askar (alm), Ustadz Ali Azzan Abdat (alm), hingga kepada DR. Ir. Said Harran, MSc, adalah sederet panjang dari murid murid beliau yang beruntung karena merasakan langsung pemikiran dan pemahaman surkati melalui gurunya, almaghfirlahu ustadz Muhammad Munif.
Sebagai alumnus madrasah Al-Irsyad di Jakarta yang telah mendapatkan didikan langsung syech Ahmad Surkati, alustadz Muhammad Munif memulai pengabdiannya dalam Perhimpunan dengan menjadi tenaga pengajar pada almamaternya, madrasah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet, Jakarta. Akan tetapi dalam kurun waktu yang hanya beberapa tahun saja, dalam tahun 1930 beliau sudah harus memenuhi tugas barunya dengan menjadi tenaga pengajar pada madrasah Al-Irsyad di kota Bogor.
Kemajuan dan perkembangan madrasah Al-Irsyad Bogor, merupakan prestasi beliau yang layak dicatat dalam lembaran sejarah Al-Irsyad. Sebagai seorang kepala madrasah, al ustadz telah menerapkan penggunaan bahasa arab sebagai bahasa resmi dalam proses belajar mengajar. Maka tak akan heran, bila murid murid Al Irsyad kala itu mahir dalam berbahasa arab. Puncak kegemilangan madrasah Al-Irsyad yang dipimpinnya adalah, membludaknya jumlah murid yang tidak tertampung lagi dan telah memberinya ide kepada beliau untuk membuka sekolah filial pada tahun 1941 di jalan kebon jahe Bogor, kelak nama kebon jahe berubah dan sekarang menjadi jalan perintis kemerdekaan. Madrasah yang dinamakannya Al-Irsyad Boeitenzorg School tersebut, dirintisnya bersama keluarga al Bawahab dan keberadaanya kini hanya tinggal menjadi kenangan sejarah.
Setelah masa penugasan dan pengabdiannya untuk Al-Irsyad Bogor, al Ustadz sudah harus pula mendapatkan tugas barunya dengan menjadi gurus sekaligus kepala sekolah di Al-Irsyad Pekalongan. Dan di kota batik ini pula, kembali beliau menorehkan sejarahnya. Karena berkat ketekunannyalah alustadz mampu membangun gedung perguruan Al-Irsyad Pekalongan yang terkenal dengan gapuranya yang khas. Berkatnya pula Pekalongan kian terkenal, karena dari sinilah muncul gambar lambang Al-Irsyad. Menurut keterangan salah seorang alumni Al-Irsyad Pekalongan yang juga salah satu murid beliau, alm Letnan Kolonel Iskandar Idris dan juga ayah dari ahli forensic Indonesia, Abdul Mun’im Idris pernah menuturkan bahwa, Al Ustadz Muhammad Munif melemparkan ide merancang lambang tersebut kepada murid muridnya, hasil rancangan tersebut kemudian di editnya dan nampak hasilnya pada lambang yang sampai sekarang ini masih resmi dipergunakan sebagai logo Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Mereka yang pernah ditempa oleh al ustadz pada madrasah Al-Irsyad Pekalongan, dan kelak telah menjadi orang terpenting dalam Perhimpunan Al-Irsyad seperti (alm) Ustadz Said Hilabi, mantan Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam beberapa periode, ustadz Abdul Azis Basyarahil ayah dari bos Gema Insani Pers Umar Basyarahil, hingga KH Abdullah Jaidi yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, adalah sederet panjang dari alumni Al-Irsyad Pekalongan yang mendapatkan didikan langsung dari alustadz Muhammad Munif.
Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan di Al-Irsyad, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan al ustadz Muhammad Munif, dan karenanya beliau memang layak mendapatkan gelar seorang tokoh pendidikan dari Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Profesianya sebagai seorang pendidik yang beliau jalani adalah sebuah pengabdian. Mutasinya untuk siap dimintanya mengajar dimanapun, adalah hal yang biasa bagi beliau dan merupakan tantangan dalam memberikan sesuatu yang sangat berarti bagi dunia pendidikan di Al-Irsyad. Bukan hanya di Bogor dan Pekalongan, beliaupun pernah pula mengabdi dan memegang jabatan sebagai kepala sekolah Al-Irsyad di kota Solo. Salah satunya adalah bapak Ghalib Azis yang banyak berperan dalam Yayasan Al-Irsyad Bogor, merupakan salah satu dari sekian banyak alumni Al-Irsyad Solo yang telah mendapatkan didikan dari alustadz, demikian pula dengan ketua Yayasan Al-Irsyad Solo, Bapak Bisyir Mubarak Nahdi adalah salah satu alumninya yang beruntung mendapatkan didikan dari alustadz Muhammad Munif. Dan banyak lagi, bahkan se abreg yang tidak dapat disebutkan satu persatu dimedia ini.
Sekembalinya alustadz dari kota Solo, dan diangkatnya kembali alustadz sebagai guru yang juga sekaligus sebagai kepala sekolah Al-Irsyad Bogor. Beliau kemudian tampil menjadi salah seorang tokoh yang berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan gedung perguruan Al-Irsyad yang sekarang masih berdiri megah dan dipergunakan sebagai gedung SD-IT Al-Irsyad Al-Islamiyyah, di jalan sedane, Bogor. Jabatannya sebagai kepala sekolah atau yang dulu dikenal dengan nama SR Al-Irsyad Bogor, dipeganganya dari tahun 1960 hingga tahun 1965. disamping itu beliau adalah guru lanjutan dibeberapa tempat, termasuk sebagai dosen pada akademi bahasa arab di Jakarta.
Kiprah dan pengabdiannya dalam kegiatan organisasi Al-Irsyad, diawali ketika para alumni al-Irsyad atas saran dan ide Syech Ahmad Surkati untuk menyelenggarakan congres pendahuluan para alumni lulusan sekolah Al-Irsyad Jakarta, sebagai cikal bakal berdirinya Pemuda Al-Irsyad pada tanggal 11 Maret 1930. Dimana dalam congres pendahuluan atau voorlopig congres tersebut telah dibentuk Badan Eksekutif Komite Kongres Pemuda Al-Irsyad yang diketuai oleh Umar Nadji Bareba dan Muhammad Munif sebagai Sekretarisnya. Pembentukan Badan Eksekutif tersebut didasari dari niatan para alumni untuk mewadahi kaum muda Al-Irsyad didalam mengisi dan mengabdikan diri untuk Perhimpunan Al-Irsyad, yang sudah sejak awal masih didominasi kaum tua atau wulaiti.
Sebagai kelanjutan dari kongres tersebut, kemudian berlangsunglah Congres Pemuda Al-Irsyad pada tanggal 12 sampai dengan tanggal 13 Mei 1930 di Jakarta. Dan telah berhasil mendeklarasikan terbentuknya Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad atau Hoofdkwartier Al-Irsyad yang diketuai sendiri oleh Syech Ahmad Surkati, dan kongres juga telah berhasil membuat beberapa keputusan penting diantaranya adalah, menerbitkan majalah mingguan berbahasa arab dengan pemimpin redaksinya Muhammad Munif dan Ali Harharah.
Selama berturut turut dalam Rapat Umum Anggota yang berlangsung di gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet, Jakarta, atau yang sekarang kita kenal dengan istilah Muktamar, yang berlangsung setiap tahun pada tanggal 27 Agustus 1938 dan Tanggal 15 Juli 1939, Muhammad Munif tampil dan duduk dalam kepengurusan Hoofdbestuur atau yang sekarang dikenal dengan istilah Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah sebagai Komisaris. Jabatan tersebut diamanahkannya kembali pada tanggal 1 Agustus 1954 melalui mekanisme reshuffle Pengurus Besar hasil Muktamar ke 28 di Surabaya yang telah mengangkat Ali Hubeis sebagai Ketua Umum PB Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Bogor 20 Juni 2008, Dari Media Al-Irsyad Bogor.

Al-Ustadz Hamid bin Hassan al-Anshary

Beliau boleh dibilang sosok irsyadi yang tumbuh menjadi irsyadi sejak lahir, karena dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Al-Irsyad 24 karat. Almarhum adalah putera salah seorang tokoh besar Al-Irsyad, Syech Hassan Hamid Al-Anshory, salah seorang tenaga pengajar pertama Al-Irsyad semasa Syech Ahmad Surkati di Batavia.
Ketokohan almarhum Hamid Hassan Al-Anshory memang tidak menasional, tapi tidak sedikit dari sejumlah tokoh-tokoh Al-Irsyad baik dalam jajaran pusat hingga ke daerah yang tidak mengenal dengan sosoknya yang bersahaja dan berpengetahuan luas ini.
Pengabdian dan Kiprahnya pada Al-Irsyad Bogor memiliki arti penting bagi perkembangan untuk kemajuan Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Almarhum adalah tokoh yang ikut membidani terbentuknya Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Bogor, jabatan sebagai Sekretaris dalam struktur Yayasan ketika pertama kali dibentuk sejak tahun 1958, dijabatnya hingga tahun 1989.
Bukan saja dalam kepengurusan Yayasan, pengabdiannya untuk Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Bogor diawalinya sejak 1950 dan duduk sebagai sekretaris cabang pada masa periode kepemimpinan almarhum Ustadz Umar Sulaiman Naji.
Selama dalam pengabdiannya untuk Al-Irsyad Bogor, banyak sudah kontribusi yang telah beliau berikan lewat ide-idenya. Salah satunya adalah dengan berdirinya SMP Al-Irsyad yang dirintisnya bersama-sama  dengan tokoh-tokoh Al-Irsyad Bogor pada tanggal 1 Desember 1966. Demikian pula pembentukan SMA Al-Irsyad Bogor yang pernah ada, merupakan saksi dari kiprah beliau yang dibentuknya pada tahun 1970. Kontribusinya yang amat berarti lainnya adalah, kerja keras almarhum untuk mendirikan Balai Pengobatan Umum atau Poliklinik Al-Irsyad Bogor yang sekarang kita kenal pada tanggal 16 September 1980.
Meski Ia sebagai salah seorang tokoh penting di Al-Irsyad Bogor, profesianya sebagai pendidik yang merupakan bakat menurun dari sang Ayah, tugasnya sebagai tenaga pengajar bahasa Arab tetap Ia lakoni. Kepiawiannya dalam bebahasa Arab pernah diungkapkan oleh salah seorang muridnya yang kini menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, KH Yusuf Supendi, Lc. “ salah seorang guru saya di Bogor , KH Hamid Al-Anshory punya kelebihan, bisa menerjemahkan bahasa Arab sama persis dengan terjemahan bahasa Indonesianya. Misalnya, bahasa Arabnya satu halaman maka terjemahan bahasa Indonesianya juga satu halaman. Saya tanyakan, berapa lama kalau mau bisa belajar bahasa Arab. Dia bilang, sekitar tiga tahun, “ kenangnya. ( Dai Parlemen – Bersih, Serius dan Merakyat, halaman 19,  penulis Hepi Andi Bastoni & Syaiful Anwar, penerbit Pustaka al Bustan tahun 2006 ).
Kegemarannya membaca membuat Ia banyak memilki wawasan yang sangat luas tentang berbagai hal, demikian pula penguasaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda juga dikuasai oleh Almarhum Ustadz Hamid Hassan Al-Anshory. Maka tak heran, sederetan kitab/buku, serta majalah banyak menghiasi rumahnya dan dengan setia menemani hidupnya hingga kedua matanya telah buta. Ketelitiannya dalam mengumpulkan serta menyimpan dokumen yang bernilai historisy, sangat berguna bagi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Buah penanya telah melahirkan tulisan yang sarat dengan sejarah, khususnya sejarah Al-Irsyad. Sebuah manuskrip yang diberinya judul “Selajang Pandang Perdjoangan Al-Irsjad Pada Zaman Keemasannja “ yang diterbitkan pada bulan Agustus tahun 1964, ikut menambah perbendaharaan khazanah sejarah Al-Irsyad. Buah penanya yang lain, “ Sejarah Singkat Al-Irsyad Bogor “ ditulisanya pula dalam bentuk manuskrip pada tahun 1983.
Kini almaghfirullah Ustadz Hamid bin Hassan Al-Anshory telah wafat meninggalkan kita semua, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para penerus jejak perjuangannya, beliau meninggal dunia pada Hari Jum’at, Tanggal 4 Agustus tahun 2000, pukul 21.00 WIB di Rumah Sakit Asy Syifa, Kota Sukabumi dalam usia 68 Tahun. Dirumahnya yang sederhana, jenazah Almarhum Ustadz Hamid dibawa dan dimakamkan dipekuburan waqaf Lolongok, yang berada dalam kawasan Empang Bogor, pada Hari Sabtu, Tanggal 15 Agustus 2000, pukul 10 pagi. Ustadz Ja’far Balfas, kawan seperjuangan Almarhum telah melepas kepergiannya kepada yang Maha Pencipta atas nama Jum’iyyah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa dan amal usaha Almarhum terhadapa kiprahnya untuk Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya cabang Bogor .
“ hari ini kita telah kuburkan yang bukan saja sesosok manusia dengan tubuhnya yang telah terbujur kaku, tapi bersamaan dengan penguburan jenzahanya, kita kuburkan juga perpustakan ilmu didalamnya, setelah sebelumnya hal yang sama telah kita kuburkan pula perpustakaan-perpustakaan lainnya para syuhada Al-Irsyad seperti ; Alm Ustadz Hassan Al-Anshory, Alm Ustadz Shultan Tebe, Alm Ustadz Abdullah Neheim Bawazir, Alm Ustadz Umar Bawazir, Alm Ustadz Umar Naji, Alm Ustadz Muhammad Munif, Alm Ustadz Ahmad Ghalib Tebe, Alm Ustadz Hasyim Askar, dan Alm Ustadz Atmawijaya. Dan harapan selanjutnya adalah, akan tumbuh sayyid-sayyid baru yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Al-Irsyad dimasa-masa yang akan datang “.
Demikian salah satu isi ungkapan yang telah disampaikan oleh Ustadz Ja’far Balfas dalam do’a penguburan Almaghfirullah Ustadz Hamid Hassan Al-Anshory.
Kini sang pengabdi tersebut telah kembali pada sang khaliq meninggalkan sesuatu yang amat bermakna dan teramat penting bagi al-Irsyad, marilah kita sama-sama berdo’a semoga Almarhum Ustadz Hamid dan sederetan nama-nama yang telah disebutkan oleh Ustadz Ja’far dalam penguburannya, mendapatkan kedudukan yang tertinggi dihadapan Allah SWT, Bi Khusnul Kahtimah. Dan hendaknya kita semua menarik pelajaran dan iktibar dari peristiwa tersebut, semoga akan tumbuh perpustakaan-perpustakaan baru lainnya. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa afihi wa fuanhu.
Bogor 18 Juli 2008, Dari Media Al-Irsyad Bogor dan ditulis oleh Abdullah Abubakar Batarfie.

Sumber :
https://alirsyadbogor.wordpress.com/2013/08/19/tokoh-al-irsyad-kota-bogor/

Rabu, 02 Desember 2015

MUNIR SAID THALIB

Munir adalah pria sederhana yang bersahaja. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara Said Thalib dan Jamilah. Ia adalah seorang tokoh, seorang pejuang sejati, seorang pembela HAM di indonesia. Pria kelahiran Malang, 8 Desember 1965 ini adalah seorang aktivis muslim ekstrim yang kemudian beralih menjadi seorang Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktek-praktek otoritarian serta militeristik.

Munir adalah seorang aktivis yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Selama hidupnya ia selalu berkomitmen untuk selalu membela siapa saja yang haknya terdzalimi. Tidak gila harta, pangkat, jabatan, dan juga fasilitas. Ia membuktikannya dengan perbuatan. Ketika ia mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah sebagai penerima "The Right Livelihood Award" ia tidak menikmatinya sendiri, melainkan membagi dua dengan Kontras, dan sebagian lagi diserahkan kepada ibunda tercintanya. Di tengah maraknya pejabat berebut fasilitas, Munir malah tidak tergoda. Ia tetap menggunakan sepeda motor sebagai teman kerjanya. Seorang tokoh kelas dunia yang sangat bersahaja.

Gelar SH didapatkannya dari sebuah universitas terkemuka di Malang, Unibraw. Selama menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua senat mahasiswa fakultas hukum Unibraw pada tahun 1998, koordinator wilayah IV asosiasi mahasiswa hukum indonesia pada tahun 19989, anggota forum studi mahasiswa untuk pengembangan berpikir di Unibraw pada tahun 1988, Sekretaris dewan perwakilan mahasiswa hukum Unibraw pada tahun 1988, sekretaris al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan menjadi anggota Himpunan Mahsiswa Islam (HMI).

Munir mewujudkan keseriusannya dalam bidang hukum dengan cara melakukan pembelaan- pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama pembelaannya terhadap kaum tertindas. Ia juga mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi, bahkan juga membantu pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Beberapa kasus yang pernah ia tangani yaitu pada kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia pada 1992, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994, menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh militer pada tahun 1993, menjadi penasehat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam kasus kerusuhan di PT.Chief Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995, Penasehat hukum Muhadi (sopir) yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang polisi di Madura, Jawa Timur pada 1994, penasehat hukum para korban dan keluarga Korban Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus- kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Termasuk beberapa kasus di wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Munir juga aktif di beberapa kegiatan advokasi dalam bidang perburuhan, pertanahan, Lingkungan, Gender dan sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik.
Pada Tahun 2003, Munir bersikeras untuk ikut dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan dan kekerasn yang terjadi di kantor Tempo, padahal ia masih diharuskan beristirahat oleh dokter.

Pada tahun 2004, Munir juga bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh Pemda. Selain itu, ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian, Politik dan perburuhan.

Munir adalah sosok pemberanni dan tangguh dalam meneriakkan kebenaran. Ia adalah seorang pengabdi yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya itulah, ia mendapatkan pengakuan yang berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ia dinobatkan sebagai Man Of The Year 1998 versi majalah UMMAT, penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan UNIBRAW yang sukses, sebagai salah seorang tokoh terkenal Indonesia pada abad XX, Majalah Forum Keadilan. Semenatara di luar negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader for the Millenniumdari Asia Week pada tahun 2000, The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes)untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas militer, Stockholm pada December 2000, dan An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya dalam mempromosikan toleransi dan Anti Kekerasan, Paris, November 2000.

Wafat
Munir wafat pada tanggal 7 September 2004, di pesawat Garuda GA-974 kursi 40 G dalam sebuah penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Perjalanan itu adalah sebuah perjalanan untuk melanjutkan study-nya ke Universitas Utrecht. Ia dibunuh dengan menggunakan racun arsenik yang yang ditaruh ke makanannya oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah seorang pilot Garuda yang waktu itu sedang cuti. Dan pada saat keberangkatan Munir ke Belanda, secara kontroversial ia diangkat sebagai corporate security oleh Dirut Garuda. Sampai sekarang, kematian seorang Munir, sang Pahlawan orang Hilang, sang pendekar HAM ini masih sebuah misteri. Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Untuk memperingati satu tahun kepergian Munir, diluncurkan film dokumenter karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, 8 September 2005. Film ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.
Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda's Deadly Upgrade hasil kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions.Pada peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film dokumenter berjudul "His Strory". Film ini bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan.
Sejak 2005, tanggal kematian Munir 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
Kronologi Pembunuhan Munir
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir[1]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya[2].Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

Sumber ;
http://info-biografi.blogspot.co.id/2013/04/biografi-munir-said-thalib.html

Empat Tokoh Islam di Indonesia


Ki-ka: Ahmad Hasan, Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, dan Hasyim Asy′ari. Click to zoom
Ki-ka: Ahmad Hasan, Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, dan Hasyim Asy′ari.
EMPAT tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.
KH Ahmad Dahlan: Melampaui Abduh
”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan.”
Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.
Ahmad Dahlan wafat d Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.
Ahmad Surkati: Mempercepat Kemerdekaan
Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan.
Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.
Ahmad Hasan: Rujukan Kajian Islam
Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam Hassan.
Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.
Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.
Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif menulis.
Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun.
KH Hasyim Asy’ari: Menjaga Tradisi Pesantren
“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres NU di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu.
Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan.
Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadits pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah KH Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.
Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, NU larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.


Sumber :
http://historia.id/agama/empat-tokoh-islam-di-indonesia

SEJARAH PERHIMPUNAN AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH

al- irsyad
6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASSOORKATY AL-ANSHARY.
Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: “Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa.” Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).
Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD, ps. 1 ayat 3).
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Khair di Jakarta dan Bogor.
***
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah (persamaan derajat).
Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di hari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).
Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Syekh Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan kota-kota lainnya.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.” Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang Indonesia.
Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.
***
Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Di tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon, diadakan perdebatan antara Al-Irsyad dan Syarekat Islam Merah, dengan tema: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme kah atau Komunisme?” Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad Surkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, tidak ditemukan titik temu. Namun Syekh Ahmad Surkati ternyata menghargai positif pendirian Semaun. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat dimerdekakan!”
Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!
***
Seperti yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dri sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dan dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.
Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain:
Yunus Anis: Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki “tulang punggung Muhammadiyah” karena pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di organisasi tersebut selama 25 tahun.
Prof. Dr. T.M. Hasby As-Shiddique: Putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup)
Prof. Kahar Muzakkir: Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Muhammad Rasjidi: Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menjadi professor di McGill University di Montreal, Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis banyak buku.
Prof. Farid Ma’ruf: Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.
Al-Ustadz Umar Hubeis: Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia juga menjadi professor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab FATAWA.
Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani: Lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin (cendekiawan terkemuka di bidang hokum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan bukunya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum diterjemahkan.
Abdurrahman Baswedan: Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI.
***
Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastic bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia. Apalagi setelah Syekh Ahmad Surkati wafat pada 1943, dan revolusi fisik sejak 1945. Banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang kemerdekaan. Sementara beberapa gedung milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa diambil lagi oleh Al-Irsyad.
Sampai 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang seluruhnya berada di Jawa. Namun berkat kegigihan para aktifisnya yang sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak 1986. Puluhan cabang baru berdiri. Dan kini tercatat sekitar 130 cabang, dari Sumatera ke Papua.
Di awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah dipimpin oleh ketua umum Salim Awad Balweel.
Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000), yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000).
***
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).
***
Sumber: Website PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah: http://www.alirsyad.org

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy


Keluarga Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husien ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama’ terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pondok. Ibunya Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz , merupakan anak seorang Qadi Kesultanan Acheh ketika itu. Menurut salasilah, Hasbi ash Shiddieqy adalah berketurunan Abu Bakar al-Shiddiq (573-13/634M) yaitu khalifah yang pertama. Beliua merupakan generasi ke 37 dari Abu Bakar al-Shiddiq yang meletakkan gelaran ash Shiddieqy diakhir namanya.

 

Pendidikan

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy mula mendapat pendidikan awalnya di pondok pengajian milik bapanya. Ia menuntut ilmu di pelbagai pondok pengajian dari stu kota ke kota yang lain selama 20 tahun. Ia mempelajari bahasa Arab dari gurunya yang bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama’ berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T.M Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Irsyad yaitu sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama’ yang berasal dari Sudan . Di Madrasah al-Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus dalam bidang pendidikan selama 2 tahun. Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad Soorkati banyak memberi didikan ke arah pembentukan pemikiran moden. Ia juga pernah menuntut di Timur Tengah.

Karya

Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Karya terakhirnya adalah Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum meninggal dunia.
Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.
  1. الفقه الدستوري:السياسة الدستورية الشرعية, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. "Sunan Kalidjaga", 1967 - 135 halaman.
  2. 2002 [i.e. Dua ribu dua] mutiara hadiets, Bulan Bintang, 1962 - 576 halaman.
  3. 2002 mutiara hadiets, Volume 1, Bulan-Bintang, 1955 - 584 halaman.
  4. Al-Ahkaam:Hukum-hukum fiqih Islam, Volumes 1-2, Islamyah, 1951.
  5. al-Islam, Bulan Bintang,", 1964.
  6. Al Islam: kepertjaan, kesusilaan, amal kebadjikan, Islamyah, 1969 - 636 halaman.
  7. al-Islâm: penuntun bathin & pembimbing masjarakat, Bulan Bintang, 1956 - 934 halaman.
  8. al Qurän mu'djiat jang terbesar jang tak terkalahkan: kandungan dan artinja bagi ummat Islam chususnja dan ummat manusia umumnja, s. n. - 44 halaman.
  9. Biografie pelopor2 pahlawan Islam, Pustaka Alhambra, 1950 - 152 halaman.
  10. Dasar-dasar Fiqih Islam, Tokobuku Islamyah, 1953 - 122 halaman.
  11. Dasar-dasar ideologi Islam, Saiful, 1953 - 181 halaman.
  12. Dasar-dasar kehakiman dalam pemerintahan Islam, C.V. Bulan-Bintang, 1955 - 94 halaman.
  13. Fakta2 keagungan sjari'at Islam, Pudjangga Islam - 40 halaman.
  14. Falsafah hukum Islam, Bulan Bintang, 1975 - 488 halaman.
  15. Fighul mawaris: hukum-hukum warisan dalam syaria̓t Islam, Bulan Bintang, 1973 - 324 halaman.
  16. Fiqh Islam, Attahirijah - 476 halaman.
  17. Fiqih Islam mempunyai daya elastis, lengkap, bulat dan tuntas, Bulan Bintang, 1975 - 168 halaman.
  18. Hakikat Islam dan unsur-unsur agama, Menara Kudus, 1982 - 117 halaman.
  19. Hukum antar golongan dalam fiqih Islam, Bulan Bintang, 1971 - 164 halaman.
  20. Hukum-hukum fiqih Islam: yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, Bulan Bintang, 1978 - 677 halaman.
  21. Hukum perang dalam Ǐslam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. Sunan Kalidjaga, 1967 - 91 halaman.
  22. Ichtisar tuntunan zakah dan fithrah, Bulan Bintang, 1958 - 64 halaman.
  23. Ideologi Islam dan qaedah pemerintahan, 1950 - 95 halaman.
  24. Ilmu2 al-Qurän: media2 pokok dalam menafsirkan al-Qurän, Bulan Bintang, 1972 - 300 halaman.
  25. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958, Pustaka Rizki Putra, 1999 - 93 halaman.
  26. Ke arah fiqh Indonesia: mengenang jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Forum Studi Hukum Islam, Fakultas Syari'ah, IAIN Sunan Kalijaga, 1994 - 158 halaman.
  27. Kelengkapan dasar2 fiqih Islam: pengantar ushul fiqih, Islamyah, 1953 - 207 halaman.
  28. Koleksi Hadits-hadits Hukum, 9 Jilid, Alma'arif, 1970.
  29. Kriteria antara sunnah dan bid'ah, Thinker's Library, 1986 - 160 halaman.
  30. Kulijah hadiets: sjarahan hadiets-hadietstasjrie' ʻibadah, Darul Irfan.
  31. Kullijah 'ibâdah: ibadah ditindjau dari segi hukum dan hikmah, Bulan Bintang, 1968 - 236 halaman.
  32. Kumpulan soal-jawab dalam post graduate course jurusan ilmu fiqh dosen2 I. A. I. N., Bulan Bintang, 1973 - 108 halaman.
  33. Kursus sembahjang dan do'a, Pustaka Madju - 96 halaman.
  34. Lapangan perjuangan wanita Islam, Menara Kudus, 1952 - 40 halaman.
  35. Lembaga pribadi, Madju - 175 halaman.
  36. Mu'djizat al-Qurän, Bulan Bintang, 1966 - 56 halaman.
  37. Mukhtārāt min aḥādīth al-aḥkām li-qism al-duktūrāh al-ūlá, biro Kemahasiswaan I.A.I.N. al-Djami'ah "Sunan Kalidjogo,", 1965 - 128 halaman.
  38. Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
  39. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).
  40. Mutiara Hadis 3 (Shalat).
  41. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).
  42. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).
  43. Pahala dan keutamaan ibadat, doʾa dan dzikir, Ramadhani - 78 halaman.
  44. Pedoman dzikir dan doʻa, Bulan Bintang, 1964 - 568 halaman.
  45. Pedoman Hajji, Thinker's Library, 1986 - 262 halaman.
  46. Pedoman hukum Sjar'y jang berkembang dalam 'alam Islamy Sunny, Volume 1, Pustaka Islam, 1956 - 382 halaman.
  47. Pedoman ibadat puasa, Bulan Bintang, 1954 - 144 halaman.
  48. Pedoman puasa, Bulan Bintang, 1963 - 208 halaman.
  49. Pedoman shalat, Bulan Bintang, 1963 - 478 halaman.
  50. Pelajaran tauhid: pokok2 ʾaqaid Islam : untuk pelajaran agama bagi sekolah2 permulaan dan umum, Madju, 1962 - 58 halaman.
  51. Pemindahan darah (blood transfusion) dipandang dari sudut hukum agama Islam, Bulan-Bintang, 1954 - 24 halaman.
  52. Pengantar hukum Islam, Bulan Bintang, 1968 - 432 halaman.
[1].
  1. Pengantar ilmu fiqh, Bulan Bintang, 1978 - 272 halaman.
  2. Pengantar ilmu perbandingan madzhab, Bulan Bintang, 1975 - 92 halaman.
  3. Perbedaan mathlaʻ tidak mengharuskan kita berlainan hari pada memulai puasa, Ladjnah Taʻlif Wan Nasjr Fakultas Sjariʻah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalidjaga, 1971 - 35 halaman.
  4. Perbendaharaan zakat, Al-Ma'arif, 1953 - 121 halaman.
  5. Pidana mati (dalam syari'at Islam), Lembaga Penerbitan, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 1974 - 24 halaman.
  6. Pokok-pokok ilmu dirajah hadiets, Bulan Bintang, 1958 - 274 halaman.
  7. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum Islam, Bulan Bintang, 1973.
  8. Pokok-pokok sebab perbedaan faham para ulama/fuqoha dalam menetapkan hukum syara, Ramadhani, 1973 - 24 halaman.
  9. Polygami, menurut hukum Islam, C.V. "Bulan-Bintang", 1955 - 20 halaman.
  10. Problematika bulan Ramadhan, Menara Kudus, 1972 - 59 halaman.
  11. Problematika hadits sebagai dasar pembinaän hukum Islam, Bulan Bintang, 1964 - 63 halaman.
  12. Problematika 'iedul fithri, Menara Kudus, 1972 - 34 halaman.
  13. Ridjalul hadiets: biographi 7 shahabi dan 18 tabi'in jang terkemuka dalam lapangan hadiets : kullijah hadiets, Biro Kemahasiswaan IAIN al-Djami'ah Jogjakarta - 155 halaman.
  14. Sedjarah dan pengantar 'ilmu al-Qurän/tafsir, Bulan Bintang, 1965 - 272 halaman.
  15. Sedjarah dan pengantar ilmu hadits, Bulan Bintang, 1965 - 276 halaman.
  16. Sedjarah dan pengantar ilmu tafsir, Bulan-Bintang, 1955 - 180 halaman.
  17. Sedjarah dan perdjuangan 40 pahlawan utama dalam Islam, Pustaka Islam, 1955 - 119 halaman.
  18. Sedjarah kehakiman dalam pemerintahan2 Islam, Islamyah, 1950 - 76 halaman.
  19. Sedjarah peradilan Islam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N., al-Djamilah - 106 halaman.
  20. Sedjarah petumbuhan dan perkembangan hukum Islam, Bulan Bintang, 1971 - 288 halaman.
  21. Syari'at Islam adalah syari'at dunia dan kemanusiaan, Ramadhani, 1972 - 61 halaman.
  22. Sjari'at Islam mendjawab tantangan zaman, Bulan Bintang, 1966 - 48 halaman.
  23. Tafsir al-Bayaan, Alma'arif, 1966.
  24. Tafsir al Qurânul majied "An Nur", Bulan Bintang, 1976.
  25. Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nuur: Surat 42-114, Pustaka Rizki Putra, 2000 - 4760 halaman.
  26. Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 3, Bulan Bintang, 1967.
  27. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 4, Bulan Bintang, 1965.
  28. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 5, Bulan Bintang, 1965.
  29. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 6, Bulan Bintang, 1965.
  30. Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 25, Bulan Bintang.
  31. Tuntunan zakah dan fithrah:tjaranja memberi, menerima dan membagi, slamijah, 1949 - 69 halaman.
  32. Tuntutan qurban, 1966 - 68 halaman.

Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasbi

Selasa, 01 Desember 2015

SYEIKH AHMAD SURKATI AL-ANSHARI



SYEIKH AHMAD SURKATI adalah tokoh utama berdirinya Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah), atau disingkat dengan nama Al-Irsyad. Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun sayang namanya tak banyak disebut dalam wacana sejarah pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.
Sejarawan Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati “memainkan peran penting” ebagai mufti. Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia “seorang pembaharu Islam di Indonesia.” Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam’iyat al-Islah wal Irsyad (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).
Sejarawan Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa.
Peneliti Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad Surkati sebagai “penasehat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia”. Dan menurutnya, pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, adalah sahabat karib Syekh Ahmad Surkati.

Pengakuan terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari tokoh Persis lainnya, Ahmad Hasan. Menurut A. Hasan, dirinya bersama pendiri Muhammadiyah H. Ahmad Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.
“Mereka itu tidak menerima pelajaran dengan teratur, namun Al-Ustadz Ahmad Surkati inilah yang membuka pikiran kami sehingga berani membuang prinsip-prinsip yang lama, dan menjadi pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah,” kata A. Hasan.
Pujian terhadap Ahmad Surkati  juga datang dari ayah Hamka, H. Abdul Karim Amrullah. Kisahnya, di tahun 1944 Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, “Hanya Syekh Ahmad Surkati.” Hamka bertanya kembali, “Tentang apanya?” Sang ayah lalu menerangkan, “Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, beliau masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hatinya sangat tawadhu!”
Dalam bukunya yang berjudul “Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”, Hamka juga menulis hubungan khusus antara ayahnya dengan Syekh Ahmad Surkati. “Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungannya dengan almarhum Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuan beliau yang pertama dengan Syekh itu di Pekalongan pada 1925. Ketika itu Syekh masih sehat dan matanya belum rusak…”
Syekh Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula (Sudan), pada tahun 1292 H atau 1875 M. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, sahabat Rasulullah saw. dari golongan Anshar.
Syekh Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad Surkati, adalah lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Syekh Ahamd dikenal cerdas sedari kecil. Dalam usia muda, ia sudah hafal Al-Qur’an.
Setamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati dikirim oleh ayahnya belajar di Ma’had Sharqi Nawi, sebuah pesantren besar di Sudan waktu itu. Ia kembali lulus memuaskan, dan ayahnya ingin ia bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi yang berkuasa di Sudan waktu itu melarang warganya meninggalkan Sudan. Putus keinginan Ahmad muda untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana Al-Azhar.
Namun suatu waktu, Ahmad Surkati bisa juga lolos dari Sudan dan berangkat ke Madinah dan Mekkah, untuk belajar agama. Tepatnya, setelah ayah beliau wafat pada 1896 M. Di Mekkah, ia sempat memperoleh gelar Al-Allaamah yang prestisius waktu itu, dari Majelis Ulama Mekkah, pada 1326 H. Syekh Ahmad lantas mendirikan sekolah sendiri di Mekkah, dan mengajar tetap di Masjidil Haram.
Meski berada di Mekkah, ia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat. Hingga suatu waktu datang utusan dari Jami’at Kheir (Indonesia) untuk mencari guru, ulama Al-Azhar langsung menunjuk ke Syekh Ahmad. Dan beliaupun pergi ke Indonesia bersama dua kawan karibnya: Syekh Muhammad Abdulhamid al-Sudani dan Syekh Muhammad Thayyib al-Maghribi.
Di negeri barunya ini Syekh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syekh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Kheir di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Kheir, karena perbedaan faham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Kheir, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami’at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang kafaah (persamaan derajat).
Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Kheir pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya, yaitu Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).
Karya Tulis Syekh Ahmad Surkati:
Selain mengajar di sekolah formal, Syekh Ahmad Surkati juga meninggalkan beberapa karya tulis di Indonesia. Di antaranya yang cukup penting adalah:
1. Surat al-Jawab (1915):
Risalah ini merupakan jawaban Ahmad Surkati terhadap permintaan pemimpin surat kabar Suluh India, H.O.S. Tjokroaminoto, sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafa’ah.
2. Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917):
Karyanya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain: kedekatan seseorang pada Muhammad sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan, namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya.
 3. Al-Dhakhirah al-Islamiyah  (1923):
Ini majalah bulanan yang dikelola Syekh Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-Anshari. Melalui majalah ini Syekh Ahmad Surkati membongkar praktek-praktek beragama yang keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan persatuan ummat.
4.   Al-Masa’il al-Thalats (1925):
Yang berisi pandangan Syekh Ahmad tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah serta tentang ziarah kubur dan tawassul.
5.  Al-Wasiyyat al-Amiriyyah  (1918)
6.  Zedeleer Uit Den Qor’an  (1932)
7.  Al-Khawatir al-Hisan  (1941)
Beberapa buku diatas sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
G.F. Pijper menulis:  “Sebagai seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah. Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial.” Pijper adalah penasehat pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke Indonesia. Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syekh Ahmad, bahkan ia sempat tiga tahun belajar ilmu tafsir dan ilmu fiqih pada Syekh Ahmad.
Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat erat Syekh Ahmad, juga sempat menimba ilmu darinya. Antara lain A. Hasan, salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis). Juga KH. Mas Mansyur dan H. Fachruddin (pemuka Muhammadiyah), KH. Abdul Halim, pemuka Persyarikatan ‘Ulama yang kemudian menjadi PUI (Persatuan Umat Islam).
A. Hassa-lah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Surkati pada Bung Karno, ketika Bung Karno berada dalam pembuangan di Ende, lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Syekh Ahmad. Presiden pertama RI ini ketika bebas dari Ende sering bertandang ke rumah Syekh Ahmad.
Syekh Ahmad juga menjadi “guru spritual” Jong Islamieten Bond (JIB), dimana para aktifisnya seperti Muhammad Natsir (mantan perdana Menteri), Kasman Sigodimedjo dkk. sering belajar pada beliau.
Ahmad Surkati tutup usia pada hari Kamis, 6 September 1943, jam 10.00 pagi, di kediaman beliau, di Jalan Gang Solan (sekarang Jl. KH. Hasyim Asy’ari no. 25) Jakarta, tepat 29 tahun setelah beliau mendirikan Al-Irsyad. Jenazahnya diantar ke Pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa di atas tanah kuburannya. Ini sesuai amanat beliau sendiri sebelum meninggal.
Di antara orang-orang dan para muridnya yang melayat, sebagian besar telah menjadi tokoh masyarakat dan pejuang bangsa. Diantaranya Bung Karno, yang pernah menyatakan: “Almarhum telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia.”

Sumber: Website PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah: www.alirsyad.org

USTADZ UMAR HUBEIS



Al-Ustadz UMAR HUBEISUMAR SALIM HUBEIS lahir diJakarta, 22 Shafar 1322 H, bertepatan dengan 8 Mei 1904 M. Berijazah Madrasah al-Mu’allimin Al-Irsyad Jakarta dan praktek mengajar dibawah bimbingan guru beliau, asy-Syeikh Ahmad as-Surkati al-Anshari. Pada tahun 1922 beliau menjabat Kepala Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Sejak itu beliau menetap diSurabaya.
Umar Hubeis dikenal sebagai salah seorang pendiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan aktif sebagai anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dari unsur MIAI. Tahun 1947 ia tercatat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (KNP), dan sepuluh tahun kemudian terpilih sebagai anggota Konstituante, juga anggota Parlemen (DPR) RI (1959).
Ia ikut mendirikan Yayasan Perguruan Tinggi Surabaya pimpinan Gubernur Samadikun pada tahun 1957. Yayasan ini lah yang mendirikan Fakultas Hukum, yang merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Pernah menjabat sebagai guru besar pada Universitas Al-Irsyad di Surakarta, Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Airlangga, Institut Teknologi Surabaya (ITS), Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah (PTDI) dan Fakultas Hukum Agama Jurusan Da’wah (FIAD) dari Universitas Muhammadiyah.
Umar Hubeis dikenal sebagai seorang ulama dan mubaligh yang mengutamakan dakwah billati hiya ahsan berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia pernah menjabat wakil ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) perwakilan Jawa Timur, Ketua Majelis Ifta’ wat Tarjih Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jakarta) selama lebih dari 30 tahun, anggota Majelis Tarjih Indonesia Muhammadiyah Jawa Timur, anggota LIPPA (Lembaga Ilmu Pelajaran dan Pendidikan Agama) pada perguruan tinggi negeri (PTN). Di samping itu beliau adalah Lektor penataran Bahasa Arab pada Ittihad al-Ma’aahid al-Islamiyyah Jatim, anggota staf ahli pada Bimbingan Perkawinan Prov. Jawa Timur.
Hari Selasa, 10 Dzulqaidah 1399 (2 Oktober 1979) beliau berpulang ke rahmatullah.

Sumber
 https://alirsyadalislamiyyah.wordpress.com/2011/08/19/umar-hubeis/

USTADZ MUHAMMAD MUNIF, TOKOH PENDIDIKAN AL-IRSYAD

Ustadz Muhammad MunifTokoh Al-Irsyad asal Bogor ini telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan dan pengembangan Al-Irsyad secara keseluruhan, baik untuk Al-Irsyad Bogor maupun untuk Al-Irsyad secara keseluruhan.
Al-Ustadz Muhammad Munief adalah salah satu tokoh paling penting di awal sejarah Al-Irsyad. Ia murid langsung Syekh Ahmad Surkati di Madrasah Al-Irsyad Jakarta. Setelah lulus, pemuda kelahiran Bogor tahun 1903 ini memilih mengabdi di almamaternya, menjadi guru di Madrasah Al-Irsyad di Petojo Jagamonyet (Jakarta Pusat sekarang).
Ketokohan Muhammad Munif tidak terbatas di Al-Irsyad cabang Bogor saja, tapi beliau adalah tokoh Al-Irsyad nasional. Atas jasanya yang besar terhadap Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam Muktamarnya di Jakarta, 6 September 2007 telah menganugerahi gelar Tokoh Pendidikan Al-Irsyad kepada beliau. Gambar beliau juga telah diabadikan dalam seri perangko khusus, yang diterbitkan oleh PT Pos Indonesia dalam rangka menyambut Mukatamar ke-38 Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Cibubur, Jakarta.

Bagi mereka yang pernah mengenyam bangku sekolah Al-Irsyad Bogor sebelum tahun 1975, tentu mereka akan mengenal lebih dekat dengan tokoh karismatik ini, yang memiliki peranan amat penting dalam Perhimpunan Al-Irsyad A-Islamiyyah, terutama sekali dalam dunia pendidikan.
Sebagai salah seorang pendidik dan kepala sekolah Al-Irsyad Bogor sejak tahun 1930-an, Al-Ustadz Muhammad Munif telah banyak melahirkan generasi pelanjut estafeta kepemimpinan di Al-Irsyad Bogor. Anak didiknya yang tersebar di berbagai pelosok cabang Al-Irsyad di Indonesia, merupakan benih-benih yang beliau tanam dan telah menjadi kader-kader Irsyadi.
Asramanya yang terkenal, At-Taujih Al-Islami, yang berlokasi persis di belakang rumah beliau di Gang Apu, Bondongan, Bogor, adalah basis utama beliau mencurahkan dan mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan, sebagai sebuah kesinambungan dari pemikiran dan keteladanan gurunya, Syekh Ahmad Surkati.
Tidak sedikit dari anak didik beliau yang pernah menghuni asaramanya kini telah telah menjadi kader-kader irsyadi yang patut dibanggakan. Misalnya, Lutfie Attamimi (direktur Majalah Islam Sabili), almarhum Maman Abdurrahman bin Sillim (pernah sekretaris PW Al-Irsyad Jabar), dan seabrek kader lainnya. Mereka mendapatkan gemblengan rutin dari Ustadz Muhammad Munif di asrama tersebut.
Tokoh-tokoh Al-Irsyad Bogor seperti Ustadz Ja’far Balfas, Ustadz Usman Amir (alm), Ustadz Abdullah Karamah (alm), Ustadz Hasyim Askar (alm), Ustadz Ali Azzan Abdat (alm), hingga Dr. Ir. Said Harran, MSc, adalah termasuk sederet nama murid-murid utama beliau yang beruntung karena merasakan langsung pemikiran dan pemahaman Syekh Ahmad Surkati melalui gurunya, Almaghfirlahu Ustadz Muhammad Munif.
Sebagai alumnus Madrasah Al-Irsyad di Jakarta yang mendapatkan didikan langsung dari Syekh Ahmad Surkati, Ustadz Muhammad Munif memulai pengabdiannya dalam Perhimpunan dengan menjadi tenaga pengajar pada almamaternya, Madrasah Al-Irsyad, di Petojo Jaga Monyet, Jakarta. Namun, ia tak lama menjadi guru di sana karena di tahun 1930 beliau harus memenuhi tugas barunya, menjadi tenaga pengajar pada Madrasah Al-Irsyad di kota Bogor. Syekh Ahmad Surkati memang menugaskan murid-murid utamanya untuk menjadi kepala madrasah atau guru di sekolah-sekolah Al-Irsyad di beberapa kota.
Kemajuan dan perkembangan Madrasah Al-Irsyad Bogor merupakan prestasi beliau yang layak dicatat dalam lembaran sejarah Al-Irsyad. Sebagai seorang kepala madrasah, Ustadz Muhammad Munif menerapkan penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam proses belajar mengajar. Maka tak heran bila murid-murid Al-Irsyad kala itu mahir dalam berbahasa Arab.
Ustadz Muhammad Munif berhasil membawa Madrasah Al-Irsyad Bogor mencapai puncaknya, hingga menjadi sekolah favorit di masanya, dengan jumlah murid yang membludak hingga gedung sekolah yang ada tak mampu lagi menampung minat muslimin Bogor menyekolahkan anaknya di Al-Irsyad. Terlahirlah ide oleh beliau untuk membuka sekolah filial pada tahun 1941 di jalan Kebon Jahe, Bogor. Kelak nama Kebon Jahe berubah, dan sekarang menjadi Jalan Perintis Kemerdekaan. Ia merintis madrasah bernama “Al-Irsyad Boeitenzorg School” itu bersama keluarga Al-Bawahab. Sayang, keberadaan sekolah filial (cabang) ini hanya tinggal kenangan sejarah.
Setelah beberapa tahun masa penugasan dan pengabdiannya di Bogor, Ustadz Muhammad Munif pun mendapat tugas baru untuk menjadi guru sekaligus kepala sekolah di Madrasah Al-Irsyad Pekalongan (Jawa Tengah). Dan di kota batik ini, beliau kembali menorehkan sejarah. Berkat ketekunannya, beliau mampu membangun Gedung Perguruan Al-Irsyad Pekalongan yang terkenal dengan gapuranya yang khas. Di bawah bimbingan beliau juga, sekolah dan cabang Al-Irsyad Pekalongan kian terkenal, karena dari sinilah muncul gambar atau lambang Al-Irsyad.
Menurut keterangan salah seorang alumni Al-Irsyad Pekalongan yang juga salah satu murid beliau, Letnan Kolonel Iskandar Idris (alm.), Ustadz Muhammad Munif melemparkan ide merancang lambang tersebut kepada murid-muridnya, dan hasil rancangan tersebut kemudian disempurnakan oleh beliau. Hasilnya adalah lambang yang sampai sekarang masih dipergunakan sebagai logo resmi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Beberapa murid yang pernah dididik langsung oleh Muhammad Munif di Madrasah Al-Irsyad Pekalongan, yang kemudian menjadi orang penting di Perhimpunan Al-Irsyad adalah (alm) Ustadz Said Hilabi (mantan Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam tiga Periode), Ustadz Abdul Azis Basyarahil, hingga KH Abdullah Jaidi yang sekarang menjabat sebagai ketua umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Lapangan pendidikan merupakan medan perjuangan dan kehidupan Ustadz Muhammad Munif sampai akhir hayat beliau. Maka, beliau sangat layak mendapatkan gelar sebagai Tokoh Pendidikan dari Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Beliau menjalani profesinya sebagai seorang pendidik di Al-Irsyad sebagai sebuah pengabdian. Ia siap ditugaskan mengajar di sekolah Al-Irsyad di daerah manapun. Bahkan tugas itu dianggapnya sebagai sebuah tantangan untuk memajukan dunia pendidikan Al-Irsyad. Tak hanya di Bogor dan Pekalongan, beliau pun pernah  mengabdi dan memegang jabatan sebagai kepala sekolah Al-Irsyad di kota Solo. Salah satu anak didiknya di Solo adalah bapak Ghalib Azis, yang banyak berperan di Yayasan Al-Irsyad Bogor. Demikian pula Bisyir Mubarak Nahdi, yang kemudian menjabat ketua Yayasan Al-Irsyad Solo. Dan banyak lagi anak didik beliau yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Sekembalinya dari Solo, Ustadz Muhammad Munif kembali diangkat sebagai guru dan sekaligus kepala sekolah Al-Irsyad Bogor. Beliau kemudian berperan aktif mewujudkan pembangunan Gedung Perguruan Al-Irsyad yang sekarang masih berdiri megah dan dipergunakan sebagai gedung SDIT Al-Irsyad Al-Islamiyyah, di Jalan Sedane, Bogor. Beliau menjabat sebagai kepala Sekolah Rakyat (SR) Al-Irsyad Bogor dari tahun 1960 hingga 1965. Di samping itu, beliau juga mengajar di beberapa tempat lain, termasuk sebagai dosen pada Akademi Bahasa Arab di Jakarta.
Kiprah dan pengabdiannya dalam kegiatan organisasi Al-Irsyad, diawali ketika para alumni Al-Irsyad atas saran dan ide Syech Ahmad Surkati menyelenggarakan kongres pendahuluan para alumni lulusan sekolah Al-Irsyad Jakarta pada 11 Maret 1930. Ini adalah cikal bakal berdirinya Pemuda Al-Irsyad. Dalam kongres pendahuluan atau voorlopig congres ini dibentuklah Badan Eksekutif Komite Kongres Pemuda Al-Irsyad yang diketuai oleh Ustadz Umar Nadji Baraba, dan Muhammad Munif sebagai Sekretarisnya. Pembentukan Badan Eksekutif tersebut didasari oleh niat para alumni untuk mewadahi kaum muda Al-Irsyad di dalam mengisi dan mengabdikan diri untuk Perhimpunan Al-Irsyad, yang sejak awal masih didominasi kaum tua atau wulaiti.
Sebagai kelanjutan dari kongres tersebut, kemudian berlangsunglah Kongres Pemuda Al-Irsyad pada tanggal 12-13 Mei 1930 di Jakarta. Kongres ini berhasil mendeklarasikan terbentuknya Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad atau Hoofdkwartier Al-Irsyad yang diketuai sendiri oleh Syekh Ahmad Surkati. Kongres ini juga telah berhasil membuat beberapa keputusan penting, di antaranya adalah menerbitkan majalah mingguan berbahasa Arab dengan pemimpin redaksinya Muhammad Munif dan Ali Harharah.
Ustadz Muhammad Munif juga pernah terpilih duduk dalam kepengurusan Hoofdbestuur Al-Irsyad, atau yang sekarang dikenal dengan istilah Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebagai Komisaris, melalui Rapat Umum Anggota (sejenis muktamar atau Kongres) di gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet (Jakarta), pada 27 Agustus 1938 dan 15 Juli 1939. Dan, jabatan tersebut kembali diamanahkan kepada beliau pada 1 Agustus 1954 melalui mekanisme reshuffle Pengurus Besar Al-Irsyad hasil Muktamar ke 28 di Surabaya yang mengangkat Ali Hubeis sebagai ketua umum Pengurus Besar Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Selama hidupnya, Ustadz Muhammad Munif menikah tiga kali dan memiliki sebelas anak. Pertama, dengan Zainah binti Muhammad Degel, yang melahirkan tujuh anak: Balqis, Faruq, Rasyid, Ahmad (1943), Abdullah, Khansa, dan Basyir. Namun Zainah wafat di usia muda, 34 tahun. Kemudian Muhammad Munif menikah lagi dengan Badriyah Ali Munif, yang memberinya satu anak perempuan bernama Wardah. Namun pernikahan itu tidak langgeng dan keduanya bercerai. Terakhir Muhammad Munif menikahi Aliyah binti Ali Ajaj, yang memberinya tiga anak: Najiah, Syakir, dan Rafidah.*

Sumber :
http://www.al-irsyad.com/biografi-muhammad-munif/