Jumat, 29 Januari 2016

Kyai Haji Muhammad Yunus Anis (Ketua 1959 - 1962)

Kyai Haji Muhammad Yunus Anis
     Keluasan dan kekuatan pengetahuan agamanya, membuat tak sedikit orang percaya pada kealiman sosok Muhammad Yunus Anis yang kerap disapa pendek, Yunus Anis. Tak terkecuali kalangan tentara. Bukti nyata besarnya kepercayaan yang diberikan TNI (Tentara Nasional Indonesia), maka pada tahun 1945 TNI menobatkan Yunus Anis selaku Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indoenesia, atau biasa dikenal Imam Tentara. Selama mengemban tugas itu, Yunus Anis banyak memberikan pembinaan mental terhadap para tentara. Putra sulung sembilan bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3 Mei 1903. Persis seperti pengakuan yang tertuang dalam Surat Kekancingan dari Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1961, Yunus Anis tercatat sebagai keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian, berhak pula menyandang gelar Raden.
     Masa kecil Yunus Anis banyak mendapat tempaan teladan dari ayahnya, yang tak lain kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan. Bahkan nama sang ayah tercatat dalam recht person Muhammadiyah. Membaca Al-Qur’am dan pendidikan akhlaq, adalah ilmu pertama dan utama yang diperoleh dari kakek dan ayahnya.     Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, kawan karib KH Ahmad Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai muballigh yang tangguh. Tamat dari pendidikan formalnya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh sesuai pengetahuan agama yang diperolehnya. Tak segan-segan Yunus Anis terjun ke tengah-tengah masyarakat di berbagai daerah Tanah Air untuk mengembangkan misi dakwahnya dan sekaligus menyebar luaskan gerakan Muhammadiyah.
 
     Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi berkembangnya Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang Persyarikatan Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan misi dakwah dan gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah.
 
     Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu berkiprah sungguh-sungguh dalam membina pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif bersendikan nilai-nilai Islam. Dan, di kemudian hari diharapkan menjadi gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh. Dalam kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara Yogyakarta, Yunus Anis tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil menunggang kuda untuk memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya ditunjang postur tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang tegas dan berkesan. Tak pelak, kesan itu kemudian tersiar luas di kalangan Muhammadiyah.    
 
     Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 
     Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
 
     Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muham­madiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
 
      Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

sumber
http://www.muhammadiyah.or.id/content-162-det-h-m-yunus-anis.html

Husein Badjerei


Nama : Husein Badjerei
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 21-04-1933
Pendidikan Terakhir : FHUI
Pekerjaan Terakhir : Wartawan/Budayawan
Alamat : -

Deskripsi

Hussein Badjerei lahir di Krukut Gang Petasan Jakarta sebagai anak lelaki pertama dari Abdullah Badjerei, Menempuh pendidikan HIS hingga Jepang masuk 1942 lalu pindah ke Al-Irsyad tamat tahun 1949, SMP dan SMA ditamatkannya tahun 1952 dan 1955 kemudian setahun mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI Jakarta, Mengikuti kursus tertulis Bahasa Inggris dan Jurnalistik. Pengalamamnya dalam dunia jurnalistik antara lain sebagai pembantu tetap berbagai mingguan dan bulanan Ibukota/daerah, Peminpin Redaksi Pemuda Masyarakat, Gema Pemuda Al- Irsyad, Media (HMI), Suara Al-Irsyad, Editor Ihya Ulumiddin, Sekretaris Redaksi Kantor Berita PENA (Pers Nasional), Sekretaris Pemimpin Umum Harian Pelita, Sekretaris Redaksi Media Persatuan, Wakil Kepala Redaksi Penerbit PT Alam'arif dan sebagai redaktur profesional.
Dalam bidang organisasi antara lain sebagai Ketua Penerangan dan Publikasi Bagian Kesenian Dewan Mahasiswa UI, Ketua Departemen Penerangan PB HMI masa bakti Ismail Hasan Metareum SH, Anggota Dewan Pertimbangan Perserikatan Organisasi-organisasi Islam Seluruh Indonesia (PORPISI). Anggota Dewan Pertimbangan BKS Pemuda-Militer dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat Pusat, Sekretaris Departemen Penerangan & Penerbitan DPP PPP, Anggota Biro Perencanaan Lajnah Pemilu PPP (LP-4) Pusat.
Jabatan yang pertama dipegang di Al-Irsyad adalah Sekretaris Cabang Pemuda Al-Irsyad Jakarta, lalu sebagai Sekjen PB Pemuda Al-Irsyad sementara, Ketua Perwakilan Istimewa PB Al-Irsyad untuk DKI Jakarta merangkap Ketua Departemen Organisasi & Penerangan PB Al-Irsyad. Ketua Delegasi Pemuda Al-Irsyad pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia I di Bandung 14-21 Februari 1960, Sekretaris Jenderal PB Al-Irsyad, Sekretaris Jendral DPP Perhimpunan AlIrsyad, perwakilan Universitas Al-Irsyad Solo untuk DKI Jakarta Raya, Anggota Delegasi Al-Irsyad ke Saudi Arabia 1977, Sekretaris Badan Penyempurnaan Konstitusi Organisasi (BPKO) Al-Irsyad, Wakil Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, Ketua Steering Committee Mu'tamar Al-Irsyad ke-35, Anggota Paripurna PP AlIrsyad Al-Islamiyah dan anggota Steering Committee Mu'tamar Al-Irsyad ke-36.
Dalam kancah dunia politik, ia menjadi calon kandidat anggota DPR-RI diajukan Al-Irsyad kepada Parmusi untuk Pemilu 1971, calon anggota DPR/MPR dari PPP untuk Pemilu 1992 Daerah Pemilihan DKI Jakarta. Instruktur pada Training & Diklat yang diselenggarakan Al-Irsyad. Pekerjaan dan kegiatan lainnya antaranya : Manajer Hotel & Restaurant Dewi Gayatri, Wakil Direktur CV Sinta Lesmana Film,Rama Film Agency, PT Sinta Lesmana Film dan CV Majasari Indah, Sekretaris Produksi berbagai perusahaan produksi film & sinetron. Menunaikan ibadah haji sebagai anggota rombongan ulama Indonesia atas undangan Menteri Wakaf & Haji Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tahun haji 1413 H.
Riwayat hidup Husein Badjerei ditulis oleh Ridwan Saidi berjudul Anak Krukut, dan diterbitkan tahun.@yas

sumber
http://www.jakarta.go.id/v2/dbbetawi/detail/171/Husein-Badjerei

Senin, 25 Januari 2016

PROF.Dr.T.MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY

1.   Pendahuluan
Hasbi Ash-Shidieqy (selanjutnya ditulis Hasbi saja), salah seorang pendiri IAIN Ar-Raniry adalah seorang ulama yang telah banyak menulis buku dan telah banyak melakukan ijtihad terutama dalam bidang fiqh. Dia adalah seorang pembaharu dalam alam pemikiran Indonesia abad dua puluh dalam bidang fiqh. Sebenarnya pemikirannya bukan hanya dalam bidang fiqh saja, tetapi juga dalam bidang tafsir, hadis, dan ilmu kalam, tetapi yang menonjol adalah dalam bidang fiqh. Dia ingin memperbarui Islam di Indonesia dengan jalan menciptakan “Fiqh Indonesia”, yaitu fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Caranya dengan mengefektifkan ijtihad.
Memperingati Hari Jadinya yang ke 45, pihak IAIN Ar-Raniry menulis sebuah buku tentang biografi orang-orang yang telah memimpin IAIN Ar-Raniry yaitu orang-orang yang pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry sejak berdirinya IAIN Ar-Raniry sampai Rektor terakhir yang sudah mengakhiri masa pengabdiannya ketika IAIN Ar-Raniry mencapai usia 45 tahun.
Sebagaimana diketahui, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh diresmikan berdirinya pada 5 Oktober 1963 oleh Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri, sebagai IAIN ketiga di Indonesia setelah IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Hasbi Ash-Shiddieqy tidak pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry, akan tetapi dia adalah Dekan pertama Fakultas Syari’ah yang dibuka di Darussalam Banda Aceh pada tahun 1960. Ketika di Darussalam Banda Aceh dibuka Fakultas Syariah yang berinduk ke IAIN Yogyakarta, Kolonel Syamaun Gaharu (Panglima Kodam I/Iskandar Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh) meminta dan mengusulkan Hasbi menjadi Dekannya. Pada waktu itu Hasbi menjabat Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta. Fakultas Syari’ah yang dibuka di Darussalam Banda Aceh pada tahun 1960 itulah cikal bakal lahirnya IAIN Ar-Raniry pada tahun 1963.
Oleh karena itulah, penyertaan biografi Hasbi bersama biografi para Rektor IAIN Ar-Raniry pada peringatan Hari Jadi Perguruan Tinggi ini dianggap penting karena Hasbi dianggap sangat berjasa dalam proses berdirinya Institut ini. Apa lagi ada pemikiran bahwa seharusnya berdirinya Fakultas Syari’ah pada tahun 1960 sebenarnya waktu itulah dihitung sebagai tahun berdirinya IAIN Ar-Raniry.

2.   Leluhur Dan Lingkungan
               Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada 10 Maret 1904, di tengah-tengah keluarga ulama pejabat. Ibunya, Tengku[1] Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi[2]. Ia juga keponakan Abdul Jalil, berjuluk Tengku Chik di Awe Geutah, oleh masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai seorang wali yang dikeramatkan. Kuburannya masih diziarahi untuk meminta berkah. Pamannya yang lain, bernama Tengku Tulot, menduduki jabatan Raja Imeum di awal pemerintahan Sri Maharaja Mangkubumi.
               Ayah Hasbi, al-Haj Tengku Muhammad Husen Ibn Muhammad Su’ud, menduduki jabatan Qadli Chik, setelah mertuanya wafat, adalah anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga. Tengku Chik di Simeuluk adalah keturunan Faqir Muhammad (Muhammad al-Ma’shum)[3]. Faqir Muhammad, sebelum berangkat ke Aceh adalah raja di Negeri Mangiri di Malabar[4]. Di Malabar, Islam telah tersiar sejak masa hayat Nabi dan dilakukan oleh para penyiar Islam yang datang khusus untuk berdakwah[5]. Faqir Muhammad berangkat ke Aceh bersama Syaikh Ismail, utusan Syarif Makkah, untuk berdakwah ke Samudera Pasai[6], sekitar tahun 1270-1275. Ia berangkat dengan membawa seorang anak laki-lakinya dan menyerahkan tahta kerajaan Mangiri kepada salah seorang anak laki-lakinya yang lain. Kedua orang inilah yang mengislamkan Meurah Silu, raja Pasai, yang setelah Muslim berjuluk Malik As-Shalih.
               Akhir kisah perjalanan Faqir Muhammad tidak jelas terekam. Namun bisa diduga, ia atau putranya cukup lama tinggal di Samalanga (Samarlangga) yang waktu Marco Polo datang ke situ pada tahun 1292 melihat penduduknya masih pagan[7]. Di Samalanga itulah ia meninggalkan anak keturunannya, keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq di Aceh yang kemudian membentuk trah Tengku Chik di Simeuluk.
               Keturunan Tengku Chik di Simeuluk di Samalanga tercatat dalam sejarah Aceh selaku pendidik dan pejuang. Selaku pendidik, mereka membangun rangkang dan dayah (di Jawa disebut pesantren). Selaku pejuang, mereka banyak berguguran di medan perang melawan kaphee Belanda.
               Ketika perang Aceh meletus (1873-1912), Samalanga mencatat sejarah kepahlawanan yang heroik dan mengharukan. Sampai tahun 1880 telah tiga kali Samalanga, khususnya Batee Ilik, digempur Belanda. Muhammad Su’ud, kakek Hasbi, telah separuh baya ketika perang Aceh meletus. Selaku seorang pejuang dan pendidik, pemimpin dayah yang diwarisi dari leluhurnya, ia tergugah oleh kesengsaraan yang terjadi di sekelilingnya itu. Semua dana, daya, dan pikiran tercurah dan terpusatkan untuk perang. Su’ud berpendapat, tugas membela negara memang kewajiban utama, namun mempersiapkan kader ulama calon pemimpin umat tidak pula boleh dilupakan. Maka, ia menyuruh anaknya, Muhammad Husein, ayah Hasbi, keluar dari Batee Ilik pergi menuntut ilmu ke tempat lain.
               Muhammad Husein keluar dari Batee Ilik setelah Uleebalang Samalanga menyerah dan dayah ayahnya hancur. Tujuannya hendak pergi ke Yan, ibukota sebuah distrik di Kedah (Malaysia sekarang). Pada waktu itu, Yan, yang tidak berada di bawah kekuasaan Belanda, memiliki pengajian yang cukup punya reputasi[8]. Di situ pula kedudukan Dewan Delapan yang dibentuk oleh Habib Abdurrahman yang mengatur pengiriman senjata ke Aceh.
            Jalan ke Yan harus melalui pelabuhan Lhokseumawe. Ketika Husein tiba di Lhokseumawe, tahun 1881, kota yang baru saja dapat direbut Belanda itu diserang balik oleh lebih kurang tiga ribu muslimin[9]. Karena itu Belanda memperketat pengawasan lalu lintas dari dan ke Malaya. Maka, Husein pun terhalang niatnya ke Yan. Ia terpaksa untuk sementara waktu tinggal di Lhokseumawe membuka pengajian dan dikawinkan dengan Amrah, puteri Qadli Chik Abdul Aziz. Dua tahun kemudian setelah beranak satu, seorang perempuan yang diberi nama Aisyah, yang dipanggil dengan nama Tengku Maneh, niat Husein belajar ke Yan yang tak pernah padam itu kesampaian. Atas bantuan biaya dari mertuanya, ia pun berangkat ke Yan. Dua tahun ia belajar di Yan, dan kemudian pergi ke Makkah dengan niat haji dan belajar. Setahun ia tinggal di Makkah, terjadi pada penghujung abad XIX yang pada ketika itu Snouck Hurgronje menyamar dengan nama al-Hajj Abd al-Ghaffar berdiam di Makkah mengamat-amati gerak-gerik orang Jawa disitu[10]. Husein tidak bisa berlama-lama tinggal di Makkah walaupun ia ingin. Ia harus segera pulang, karena Belanda meningkatkan aktivitas perangnya di Aceh dengan niat untuk segera mengakhirinya.
               Husein mengambil jalan berjihad dengan mengajar. Atas bantuan mertuanya, ia mendirikan sebuah rangkang. Karena sudah naik haji dan belajar pada guru-guru di Makkah, rangkangnya segera berkembang menjadi dayah. Selang beberapa waktu, ia pun dilantik sebagai Qadli Chik, menggantikan kedudukan mertuanya yang telah wafat. Husein wafat pada tahun 1943 dengan meninggalkan delapan orang anak, lima laki-laki dan tiga perempuan, saudara-saudara Hasbi, namun tidak meninggalkan banyak harta.
               Hasbi adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash-Shidiq[11]. Itulah sebabnya, sejak tahun 1925, atas saran Syaikh Muhammad Ibn Salim al-Kalali[12], ia menggunakan sebutan ash-Shiddieqy di belakang namanya sebagai nama keluarga.

3.   Kisah Hidup
               Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ---ulama, pendidik, dan pejuang ---jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan seperti juga derita yang dialami oleh masyarakatnya. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut membentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecenderungan membebaskan diri dari kemungkinan tradisi dan kejumudan serta mandiri tak terikat pada suatu pendapat lingkungannya.
               Hanya enam tahun ia mengenyam belaian kasih ibunya. Pada tahun 1910, bertepatan dengan tahun gugurnya Pocut Meutia, ibunda Hasbi meninggalkan dunia yang fana ini. Hasbi menjadi piatu. Dua tahun ia diasuh oleh Tengku Syamsiah yang lebih akrab dipanggil Tengku Syam, saudara ibunya yang tidak berputra. Tengku Syam wafat pada tahun 1912, bertepatan dengan tewasnya Tengku di Barat.
               Sepeninggal Tengku Syam, Hasbi tidak kembali ke rumah ayahnya yang telah kawin lagi. Ia memilih tinggal di rumah kakaknya, Tengku Maneh, bahkan sering tidur di meunasah (langgar) sampai kemudian dia pergi meudagang (nyantri) dari dayah ke dayah. Ia berjumpa ayahnya hanya pada waktu belajar atau mendengar fatwanya dalam menyelesaikan perkara.
               Sikap Hasbi membebaskan diri dari kungkungan tradisi telah diperlihatkannya sebelum ia merantau (mendagang). Larangan ayahnya tidak boleh bergaul bebas dengan teman sebayanya, justru ia tidur bersama-sama mereka di meunasah. Ayahnya selalu meminta seseorang muridnya menggendong Hasbi jika bepergian. Tetapi Hasbi sendiri jika bermain sepeda, dialah yang mengayuh dan teman-temannya membonceng. Dari sini sifat kepemimpinan Hasbi mulai tampak. Sikapnya yang suka memprotes diperlihatkannya dengan cara mengencingi air kolam (kulah) yang dipakai oleh para santri untuk mandi dan berwudhu. Dengan dikencingi secara terbuka, terpaksalah kolam itu dikuras. Sikap-sikap bebas inilah yang nanti membuat ia menolak bertaklid bahkan berbeda paham dengan orang yang sealiran dengannya.
               Hasbi sejak remaja telah dikenal di kalangan masyarakatnya karena ia sudah terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada tradisi  yang disebut dengan meuploh-ploh masalah, menguraikan masalah agama yang dipertandingkan. Masalah yang disampaikan dalam bentuk syair harus dijawab oleh pihak lain. Kalau tidak bisa menjawab, kelompok tersebut dinyatakan kalah dalam pertandingan. Hasbi sering diminta mengambil peran sebagai penanya atau penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan dalam diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika Hasbi populer di kalangan masyarakatnya. Banyak orang menginginkan Hasbi jadi menantunya. Sejak remaja dia sudah dipanggil dengan sebutan Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak lagi dipanggil dengan nama dirinya tetapi dengan laqab-nya.
               Hasbi menikah pada usia sembilan belas tahun dengan Siti Khadijah, seorang gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadjah wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama. Anaknya yang dilahirkan itu, Nur Jauhariah, segera pula menyusul ibunya kembali ke rahmat Allah. Kemudian Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Tengku Haji Hanum atau lebih akrab dipanggil dengan Tengku Haji Nom adalah saudara kandung Tengku Amrah, ibu Hasbi. Dengan Tengku Nyak Asiyah inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayatnya. Dari perkawinannya ini lahir empat anak, dua perempuan dan dua orang laki-laki.

4.   Perilaku
               Hasbi yang mengalami bagaimana pahitnya tidak mengecap kasih sayang ibu dan tegang dengan ayah, menjadi seorang yang sangat mencintai dan mengasihi anak-anak dan cucu-cucunya. Bahkan dalam pernyataan kasih sayang itu terlihat hal-hal yang agak aneh. Dia menginginkan anak dan cucunya selalu berada di sekitarnya. Sebentar saja berpisah ia akan sibuk mencarinya. Kalau anak dan cucunya terlambat pulang sekolah ia sudah menunggu di pintu pagar. Apakah ini satu trauma yang dialaminya sebab ia pernah terpisah dari keluarganya karena ditawan dalam peristiwa ”revolusi sosial” di Aceh tahun 1946 yang pada waktu itu cukup banyak Uleebalang dan keluarganya mati terbunuh oleh penggerak revolusi? Mungkin juga.
               Hasbi memang sayang pada semua orang. Pada tahun-tahun 1930-an sampai tahun 1945, ketika ia berdiam di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), rumah sewaannya yang sempit ditumpangi pula oleh beberapa orang muridnya yang tidak berstatus pembayar makan. Hasbi senang pula menerima dan melayani tamu. Jika pembicaraan berkisar pada masalah politik atau masalah agama, ia bisa berjam-jam duduk tanpa bosan.
               Hasbi sangat menghargai orang berpendapat. Ia tidak gusar jika pendapatnya dibantah walaupun oleh anaknya sendiri. Bahkan dengan anaknya, ia mengajak berdiskusi yang kadangkala berlangsung seperti orang bertengkar. Tidak pula jarang terjadi, ia mendiskusikan sesuatu yang sedang ditulisnya dengan anaknya yang bertindak sebagai juru ketik dan korektor uji cetak buku-bukunya. Jika pendapat anaknya dirasa benar, diakuinya. Jika salah, ia membetulkannya dan menasehati agar belajar lebih banyak dengan membaca buku seperti yang diperbuatnya.
               Ada tiga hal yang Hasbi sangat jengkel jika dilakukan oleh anggota keluarganya. Pertama, bermalas-malasan dan tidak mempergunakan waktu senggang untuk membaca. Isterinya pun diharuskan membaca. Pukul setengah lima pagi, ia membangunkan keluarga seisi rumahnya. Tidur siang tidak boleh lebih dari satu jam. Kedua, pekerjaan tidak boleh ditunda. Semua pekerjaan harus diselesaikan secepatnya. Pernah anaknya harus mengetik naskahnya dari Subuh sampai tengah malam selama berhari-hari. Ia menghendaki anaknya mencontohnya dalam bekerja keras. Ketiga, buku-bukunya baik yang di rak maupun yang di atas meja, yang terbuka atau yang tertutup, tidak boleh ada yang berpindah tempat. Pulang kerja, yang pertama dilakukan adalah melihat buku, bukan membuka sepatu, jas dan dasi, pakaian, apalagi makan. Jika ada buku yang berubah letak, apalagi jika ia sedang membutuhkannya karena ada sesuatu yang hendak dikonsultasikan, marahnya bisa meledak. Tetapi hanya sekedar suara.
               Ada sebuah anekdot yang diceriterakan A.Hasjmy[13] bagaimana sikap Hasbi terhadap buku. Pada akhir tahun 1930-an, ketika Hasbi mengajar di Madrasah Jadam Montasik, Hasjmy bertamu ke rumah Hasbi dengan maksud meminjam buku. Menjawab permintaan Hasjmy, Hasbi berkomentar, ”Ada dua golongan orang yang kepada mereka tidak boleh dipinjamkan buku.” Pertama, orang yang tidak suka membaca. Mereka meminjam buku hanya sekedar pinjam agar dikatakan ia seorang yang gemar kepada ilmu. Orang ini tidak pernah membaca buku yang dipinjam itu. Setelah dipinjam hanya digeletakkan di tempat yang mudah terlihat oleh tamunya. Ketika ada seorang tamu yang ingin membacanya, buku dibiarkan dibawa oleh orang itu. Buku itu tidak pernah kembali kepada pemiliknya. Kedua, orang yang gemar membaca. Bagi orang ini seringkali buku yang dipinjam itu ditahan lama, sampai kedua belah pihak menjadi lupa. Buku itu pun tidak pernah kembali kepada pemiliknya. Hasbi menganjurkan Hasjmy datang saja ke rumah dan membaca buku sepuasnya dan tidak membawa pulang. Komentar Hasbi ini barangkali berdasarkan pengalamannya sendiri yang sering kehilangan buku yang dipinjamkan, atau juga ia sendiri yang menahan terlalu lama buku yang dipinjamnya sampai lupa siapa pemiliknya.
               Tentang minat baca Hasbi, Hasjmy menulis dalam harian Waspada sebagai berikut :
Yang amat saya kagumi terhadapnya dalam perjalanan itu[14], yaitu kegemaran membacanya, sehingga segala kesempatan yang ada dipergunakan untuk membaca tidak untuk mengobrol. Pada suatu malam kami berkunjung ke rumah Adinegoro, yang Sekretaris Jenderal Sumatera Tjuo Sangi In. Di rumah Adinegoro pada malam tersebut, kami asyik mengobrol dengan kawan-kawan yang sudah lama tidak berjumpa, Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy asyik berdiri di ruang perpustakaan Adinegoro membolak-balik buku demi buku[15].
Minat baca Hasbi memang besar. Jarang orang melihat ia duduk atau berbaring tanpa buku di tangan. Dalam keadaan sakit pun ia terus membaca, sampai membuat isterinya protes.

5.   Pendidikan
               Hasbi telah khatam mengaji al-Quran dalam usia delapan tahun. Satu tahun berikutnya ia belajar qiraah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan fiqh pada ayahnya sendiri. Permintaan Kontrolir Lhokseumawe kepada ayah Hasbi agar ia dimasukkan ke Sekolah Gubernemeen[16] ditolaknya. Ia khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran serani (nasrani), seperti juga ia menolak Hasbi dicacar karena takut dimasukkan ie kaphee (air kafir). Hasbi baru mencacar dirinya setelah ia dewasa. Ayah Hasbi menganjurkan anaknya menjadi ulama. Karena itu, ia harus dikirim belajar ke dayah. Pertimbangannya bukan saja untuk meneruskan tradisi leluhur tetapi juga kedudukan dan penghargaan terhadap ulama memang tinggi di mata masyarakat Aceh[17].
               Selama delapan tahun lamanya Hasbi meudagang (nyantri) dari satu dayah ke dayah yang lain. Pada tahu 1912, ia dikirim meudagang ke dayah Tengku Chik Piyeung yang nama dirinya Abdullah untuk belajar bahasa Arab, khususnya nahwu dan sharaf. Setelah setahun belajar di situ, ia pindah belajar ke dayah Tengku Chik di Bluk Bayu. Setahun kemudian, ia pindah ke dayah Tengku Chik di Blang Kabu Geudong. Dari Blang Kabu, ia pindah ke dayah Tengku Chik di Blang Manyak Samakurok dan belajar di situ selama satu tahun. Semua dayah yang disebutkan itu terletak di bekas wilayah kerajaan Pasai tempo dulu. Setelah pengetahuan dasar dirasa cukup, pada tahun 1916 ia pergi merantau atau meudagang ke dayah Tengku Chik di Tanjungan Barat yang bernama Idris, di Samalanga. Dayah ini adalah salah satu dayah terbesar dan terkemuka di Aceh Utara yang mengkhususkan diri dalam pelajaran ilmu fiqh. Dua tahun ia meudagang di dayah ini, setelah itu ia pindah meudagang ke dayah Tengku Chik di Krueng Kale, yang bernama Hasan. Selama dua tahun ia meudagang di Krueng Kale di Aceh Rayeuk untuk belajar hadits dan memperdalam fiqh. Pada tahun 1920, dari Tengku Chik Hasan Krueng Kale, ia memperoleh syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri. Ia pulang ke Lhokseumawe dengan perasaan puas.
               Hasbi yang dikaruniai Allah berotak cerdas dan gemar membaca, merasa ilmu yang diperolehnya di dayah-dayah itu hanyalah sebatas sebuah kitab yang diajarkan. Kitab-kitab itu pun hanya yang bermazhab Syafi’i. Guru hanya menyimak apakah bacaan atau terjemahannya betul, atau sesekali sang guru membaca dan para murid mendengar. Proses belajar mengajar dengan metode anjur kitab itu memang dianut oleh semua dayah atau pesantren di Indonesia. Metode ini kurang melibatkan anak didik di dalam proses berpikir sehingga mampu memecahkan masalah-masalah sendiri tanpa harus menunggu keputusan yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Terpatrilah doktrin taklid.
               Kebosanan Hasbi terhadap proses belajar mengajar seperti itu terlihat pada anekdot-anekdot di bawah ini. Ia lebih banyak membaca sendiri di biliknya, atau di tempat-tempat lain, dari pada hadir di ruangan belajar bersama. Pernah pula terjadi, ia masuk ke ruang bukan dengan membawa buku dan kitab, tetapi bahan dan alat merajut. Ketika guru membaca kitab dan menerjemahkannya kata demi kata, ia mendengarnya sembari asyik merajut di pojok ruangan. Sikapnya yang acuh tak acuh dan tidak menyimak pelajaran menimbulkan rasa tak senang di hati gurunya. Anak cuek ini harus diberi pelajaran. Pada suatu hari, ketika ia ikut hadir dalam ruangan belajar dan tetap memperlihatkan sikap tidak serius, secara mendadak gurunya menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan tentang masalah-masalah yang sedang atau telah diajarkan ketika ia tidak hadir. Ia tidak kaget dan tidak gelagapan. Ia menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dalam kitab-kitab yang belum diajarkan. Kini giliran gurunya yang terkejut. Sejak itu, dia dibiarkan belajar dengan caranya sendiri, bahkan dijadikan guru muda pada tingkat yang lebih rendah jika gurunya berhalangan.
               Semangat Hasbi membaca tidak terbatas pada buku yang ditulis dalam bahasa atau aksara Arab saja. Ia juga membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa Latin dan dengan bahasa selain Arab dan Melayu, khususnya Belanda. Aksara Latin, apalagi bahasa-bahasa Belanda tidak diajarkan di dayah, karena anggapan aksara dan bahasa itu milik kaphee. Pelajaran agama tidak boleh ditulis dalam aksara kaphee biarpun Nabi memerintahkan kaum muslimin belajar sampai ke negeri Cina. Apa akal? Satu waktu ketika ia masih meudagang di dayah Tengku Chik di Tanjungan Barat, pulang berlibur ke Lhokseumawe ia menjumpai sahabatnya yang bernama Tengku Muhammad. Dari sahabatnya inilah ia belajar dan mengenal aksara Latin. Kini ia sudah punya modal untuk mempelajari bahasa Belanda dari seorang Belanda yang minta diajari bahasa Arab.
               Sepulangnya dari Krueng Kale, Hasbi berjumpa dengan Syaikh Muhammad Ibn Salim al-Kalali, seorang yang termasuk kelompok Kaum Pembaru Pemikiran Islam di Indonesia, yang bermukim di Lhokseumawe. Melalui Syaikh al-Kalali ia mendapat kesempatan membaca kitab-kitab yang ditulis oleh pelopor-pelopor Kaum Pembaru Pemikiran Islam. Melalui Syaikh al-Kalali pula ia berkesempatan membaca majalah-majalah yang menyuarakan suara-suara pembaruan yang diterbitkan di Singapura, Pulau Pinang, dan Padang. Dengan Syaikh al-Kalali ia mendiskusikan konsep dan tujuan pembaruan pemikiran Islam.
               Hasbi yang cerdas dan dinamis serta telah bersentuhan dengan pemikiran kaum pembaru, dilihat oleh Syaikh al-Kalali mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaruan Islam di Aceh. Untuk keperluan itu ia menganjurkan Hasbi pergi ke Surabaya belajar pada Perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh Pergerakan al-Irsyad wal Ishlah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad as-Surkati. Pada tahun 1926, degan diantar oleh Syaikh al-Kalali, Hasbi berangkat ke Surabaya. Setelah dites, ia dapat diterima di jenjang takhashshush. Di jenjang ini Hasbi memusatkan perhatiannya belajar bahasa Arab yang memang mendapat kedudukan istimewa dalam kurikulum perguruan al-Irsyad[18]. Percepatan penguasaan bahasa Arabnya didukung pula oleh pergaulannya dengan orang-orang Arab di Surabaya. Ia bermain bola bersama mereka. Ia juga mondok di rumah seorang Arab. Satu setengah tahun Hasbi belajar di al-Irsyad dengan perolehan kemahiran berbahasa Arab dan kemantapan berada di barisan Kaum Pembaru untuk mengibarkan panji-panji ishlah serta semangat kebangsaan Indonesia yang memang telah bersemi dalam dirinya sejak ia meudagang di Tanjungan Barat, di Samalanga. Pada waktu itu rakyat Samalanga yang telah memperlihatkan kepahlawanan melawan penjajah, pada tahun 1916, mendirikan cabang SI (Sekita Islam)[19].
               Perguruan al-Irsyad jenjang takhashshush adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh Hasbi. Ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dengan ilmu melalui belajar sendiri, otodidak. Beliau adalah guru terbaik. Berkat minat bacanya yang besar, semangat belajar dan menulisnya yang tinggi Hasbi menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula artikel. Ia memperoleh dua gelar Doktor H.C, satu dari UNISBA (1975), dan satu dari IAIN Sunan Kalijaga (1975), dan menduduki jenjang fungsional pada tingkat Guru Besar pada tahun 1960.

6.   Karya Intelektual
               Aktivitas Hasbi menulis telah dimulai sejak awal tahun 1930-an. Karya tulisnya yang pertama adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet. Pada tahun 1933 di samping menduduki Jabatan wakil redaktur, Hasbi juga menulis artikel dalam Soeara Atjeh. Pada tahun 1937, ia memimpin dan sekaligus menjadi penulis semua artikel majalah bulanan al-Ahkam, majalah Fiqh Islami, yang diterbitkan oleh Oesaha Penoentoet di Kutaraja.
               Sejak tahun 1939 ia menjadi penulis tetap pada majalah bulanan Pedoman Islam yang diterbitkan di Medan. Dalam majalah ini ia mengisi dua rubrik. Dalam menulis rubrik ”Ilmoe Moeshtalah Ahli Hadiets” yang sejak nomor ke delapan berganti judul dengan ”Sejarah Hadits-Hadits Tasyri’”, ia menggunakan nama samaran Ibnoel Hoesein. Untuk rubrik ”Dewan Tafsir” ia menggunakan nama samaran Aboe Zoeharah.
               Mulai tahun 1940, ia menulis untuk majalah-majalah Pandji Islam yang diterbitkan di Medan dan Aliran Moeda yang sejak penerbitannya nomor empat berganti nama menjadi Lasjkar Islam diterbitkan di Bandung. Dalam Pandji Islam, ia mengisi rubrik ”Iman dan Islam” dan dalam Aliran Moeda/Lasjkar Islam ia memelihara rubrik ”Pandoe Islam” dengan judul ”Moeda Pahlawan Empat Poeloeh”.
               Di samping menulis rubrik tetap, ia juga menulis artikel-artikel lain dalam  ketiga  majalah  tersebut.  Satu  diantaranya adalah polemiknya dengan  IR. Soekarno tentang pembaruan pemikiran Islam yang termuat dalam Pandji Islam. Menanggapi pemikiran Soekarno, Hasbi menulis artikel ”Memoedakan Pengertian Islam” yang dimuat dalam Pandji Islam dan ”Mengoepas Faham Soekarno tentang Memoedakan Pengertian Islam” yang dimuat dalam Lasjkar Islam.
               Ketika ditawan di Lembah Burnitelong (1946-1947), Hasbi yang telah tinggal tulang berselaput kulit menyusun naskah Pedoman Dzikir dan Doa. Dapat diduga, dalam keadaan teraniaya itu ia lebih mendekatkan diri dengan berdzikir dan berdoa. Dalam kamp tawanan di Burnitelong ini pula ia menulis naskah kasar Al-Islam yang diterbitkan pada tahun 1957 setebal 1404 halaman dalam dua jilid. Karena alam sekeliling yang dilihatnya adalah pohon rambung (karet), maka pohon rambunglah yang dijadikannya sebagai ibarat jika agama ditamsilkan sebagai sebatang pohon[20]. Buku-buku referensi yang diperlukannya untuk menulis al-Islam diperolehnya dari Tengku Abdul Djalil, seorang murid yang pernah direkomendasikannya untuk belajar ke perguruan al-Irsyad di Surabaya. Buku al-Islam ini sampai tahun 1977 telah lima kali dicetak ulang.
               Selepas dari tawanan di Burnitelong dan Takengon, selama berdiam di Lhokseumawe, masih dalam status tahanan kota, ia menulis naskah Pedoman Shalat. Dorongan menulis naskah ini datang karena di balee yang didirikannya di Mon Geudong, ia memusatkan perhatian pada mengajari jamaahnya bagaimana cara bershalat seperti yang dituntun oleh Nabi. Pedoman Shalat setebal 590 halaman pada tahun 1984 telah dicetak ulang sebanyak tiga belas kali oleh penerbit Bulan Bintang yang sebelumnya telah pula dicetak dua kali oleh Penerbit Islamiyah Medan.
               Setelah berdiam diri di Yogyakarta, sejak tahun 1951, karya tulis Hasbi sangat meningkat. Pada tahun 1961 ia merampungkan Tafsir an-Nur (30 jilid), tahun 1968 menyelesaikan naskah Mutiara Hadits (8 jilid, baru terbit 6 jilid). Di samping menulis buku-buku, baik yang berjilid banyak maupun berjilid tunggal ia masih juga menulis artikel-artikel yang dimuat dalam majalah-majalah dan Surat Kabar, antara lain: Hikmah, Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Aldjami’ah, dan Sinar Darussalam. Sejak tahun 1963 Hasbi ditunjuk pula sebagai Wakil Ketua Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci al-Quran, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No.26 tahun 1963.
               Hasbi telah menulis 72 buku dan 50 artikel dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-Quran Hasbi telah menulis 6 judul buku, 8 judul buku dalam bidang Hadits, 36 judul dalam bidang Fiqh, 5 judul dalam bidang Tauhid/Kalam, dan 17 judul dalam bidang Umum (General)[21].

7.   Pekerjaaan
               Hasbi yang diharapkan ayahnya mengajar di dayah lebih suka mendirikan madrasah. Pada tahun 1924, sebelum berangkat ke Surabaya, ia mendirikan madrasah di Buloh Beurenghang. Madrasah yang mendapat dukungan Teuku Raja Itam, Uleebalang disitu, hanya berusia dua tahun. Dia bubar karena Hasbi berangkat ke Surabaya untuk belajar di al-Irsyad. Sekembalinya dari Surabaya, pada tahun 1928, Hasbi bersama Syaikh al-Kalali mendirikan madrasah di Lhokseumawe yang diberi nama al-Irsyad pula. Secara administratif organisatoris, sekolah ini tidak ada hubungannya dengan pergerakan al-Irsyad wal Ishlah. Namun secara idealis, sekolah ini mengikuti rencana pelajaran dan proses belajar mengajar yang dikembangkan oleh perguruan al-Irsyad di Jawa. Ketika Hasbi mendirikan perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe, Abdullah TB memprakarsai pembangunan dayah di Uteun Bayi Lhokseumawe dengan mendatangkan Tengku Muhammad Daud Beureueh ke situ. Dimulailah kampanye, bahwa memasuki perguruan al-Irsyad akan menjadi sesat seperti Hasbi. Model sekolah yang memakai bangku dan papan tulis adalah model kafir. Tidak boleh ditiru. Apalagi duduk berbanjar pada bangku-bangku sekolah berakibat ada yang duduk di depan dan ada yang duduk di belakang. Ketika diberikan pelajaran membaca al-Quran akan menimbulkan pelanggaran adab waktu giliran membaca jatuh pada murid yang duduk di belakang. Orang dilarang membelakangi al-Quran, kilah mereka.
               Tengku Muhammad Daud Beureueh tampaknya seorang spesialis dalam membendung laju pendidikan model sekolah, sebelum ia sendiri nanti menjadi pendiri dan mengajar di sekolah Jam’iyatud Diniyah di Blang Paseh pada tahun 1929. Ketika pada tahun 1924 di Tapak Tuan dibuka sekolah Thawalib sebagai cabang Thawalib yang berpusat di Sumatera Barat, ia juga didatangkan kesana untuk mengajar di dayah.
               Kampanye Abdullah TB berhasil membuat sekolah al-Irsyad Hasbi kehabisan murid. Hasbi tidak bereaksi, untuk menghindari konflik fisik. Ia menutup sekolahnya di Lhokseumawe dan pindah ke Krueng Mane, berjarak ± 20 km ke arah Barat Lhokseumawe. Dengan mendapat bantuan Teuku Ubit, saudara Teuku Luthan, Uleebalang Krueng Mane, Hasbi mendirikan Madrasah al-Huda di Krueng Mane. Ia memilih nama al-Huda, tidak lagi al-Irsyad, untuk menghilangkan hujjah Abdullah TB yang dalam kampanyenya dahulu juga menyerempet-nyerempet ke pergerakan al-Irsyad. Akibat persaingan kakak beradik Teuku Luthan dengan Teuku Ubit, maka Sekolah al-Huda di Krueng Mane tidak mendapat perkenan dari penguasa. Al-Huda harus ditutup terkena larangan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, berdasarkan Ordonansi Guru tahun 1905 (stbl. 1905 No.550) yang diperbaharui pada tahun 1925. Hasbi kembali ke Lhokseumawe. Aktivitasnya beralih sebentar dari sekolah ke politik, yang berakibat ia harus keluar dari Lhokseumawe dan pindah ke Kutaraja. Kepindahan Hasbi ke Kutaraja juga akibat reaksi terhadap bukunya Penoetop Moeloet.
               Awal karir Hasbi di Kutaraja kembali menjadi guru. Ia memulainya dengan mengajar pada kursus-kursus yang dikelola oleh Jong Islameten Bond Daerah Aceh (JIBDA) dan pada sekolah HIS serta kemudian MULO Muhammadiyah. Pada waktu itu, di Aceh sudah marak didirikan madrasah dan sekolah swasta yang pada tahun 1935/1936 telah berdiri sejumlah sembilan puluh satu madrasah.
               Ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh madrasah-madrasah pada tahun 1936, dimana Hasbi terlibat di dalamnya. Pertama, reaksi dari kaum tradisionalis yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Amin Jumphoh Pidie yang mengharamkan belajar ilmu pengetahuan selain ilmu pengetahuan agama dalam arti sempit. Mereka mengharamkan pula guru laki-laki mengajari murid perempuan[22]. Kedua, masalah penyeragaman kurikulum dan menyatubahasakan para guru.
               Masalah boleh tidaknya diajarkan ilmu pengetahuan umum seperti: berhitung, sejarah, ilmu bumi, ilmu hayat dan sebagainya, serta laki-laki mengajari perempuan cukup ramai diperbincangkan, bahkan dalam situasi yang tegang. Pihak yang anti menuduh pihak yang membolehkannya telah berbuat haram. Sebaliknya, pihak yang pro mengatakan orang yang melarangnya telah membuat kaum muslimin menjadi terbelakang. Untuk mengatasi perbedaan pendapat ini, dan guna mendapatkan kebenaran, Teuku Nyak Arief[23] menyelenggarakan sebuah pertemuan di rumahnya di Kedah Singel, pada hari Jumat 16 Rajab 1355/2 Oktober 1936. Orang yang diundang menghadiri pertemuan itu mewakili tiga golongan, yaitu: uleebalang, ulama, dan orang patut-patut. Hasbi diundang atas nama ulama.
               Dalam pertemuan itu dibahas tiga masalah pokok yang sedang menjadi isu hangat yaitu :
1.      Bolehkah ilmu seperti ilmu Jugrafiyah (ilmu bumi), kimia, ilmu kesehatan dan segala ilmu yang menjadi pokok kemajuan dipelajari oleh umat Islam?
2.      Bolehkah mata pelajaran itu diajarkan pada madrasah (sekolah agama)?
3.      Bolehkah perempuan berguru pada laki-laki di tempat-tempat yang dirasa aman dan terpelihara?
               Setelah terjadi perdebatan sengit yang masing-masing pihak berusaha meyakinkan pihak lainnya, pada akhirnya, pihak yang menantang tidak bisa mengingkari kenyataan sejarah bahwa ilmu pengetahuan umum dipelajari oleh kaum Muslimin pada masa Dinasti Abbasiyah dahulu. Itulah pula yang menjadi sebab kaum Muslimin mampu menjadi pemegang obor kebudayaan Abad Pertengahan sejarah dunia. Pada akhirnya, pertemuan menyimpulkan dan mengambil keputusan :
1.      Agama Islam tidak melarang mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib mempelajari bahkan tidak layak meninggalkannya.
2.      Memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah tersebut.
3.      Tidak ada halangan dan tidak terlarang menurut syariat, perempuan berguru pada laki-laki.
               Teuku Nyak Arief, ketika menutup pertemuan itu, menghimbau agar setelah pertemuan itu tidak lagi terjadi perselisihan paham[24].
               Keputusan Kedah Singel memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat Aceh. Sejak itu tidak lagi terdengar cemoohan yang dilontarkan secara terbuka terhadap pihak yang mendukung diajarkan ilmu pengetahuan umum di madrasah. Dampaknya, para orang tua tidak lagi segan mengirimkan anak mereka belajar di madrasah. Abdullah TB yang dahulu berupaya membendung perkembangan perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe, kini menganjurkan masyarakat membantu pembangunan madrasah-madrasah. Demikian pula yang dilakukan oleh Tengku Abdullah Lam U dan Tengku Hamzah Peusangan[25].
               Hasbi tidak lagi menghadapi tantangan berat dan tidak dikucilkan. Dia mulai diterima mengajar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh lembaga yang selain Muhammadiyah. Pada tahun 1937, ia diminta mengajar di Jadam Montasik, dan pada tahun 1941 mengajar dan membina madrasah  Ma’had Imanul Mukhlis atau Ma’had Iskandar Muda (MIM) di Lampaku[26]. Dengan demikian, Hasbi beroleh kesempatan meluaskan pemikirannya di kalangan muda tidak hanya terbatas lingkungan anggota atau simpatisan Muhammadiyah dan orang-orang menempuh pendidikan Barat saja.
               Pemikiran tentang penyeragaman kurikulum dan menyatubahsakan para guru tercetus dan dibahas ketika belangsung buka puasa bersama di rumah Hasbi pada bulan Ramadhan 1355/1936 itu juga. Yang hadir dalam berbuka puasa bersama itu adalah Ismail Ya’kub, ayah Mansur, Tengku Muhammad Asyik, Nyak Sabi Raden, Nyak Haji, Karim Mu’ti (Ketua Muhammadiyah) dan R.Suwandi (Kepala Sekolah Taman Siswa). Dari perbincangan dalam buka puasa bersama itulah lahir keputusan mendirikan Leergang Muhammadiyah. Ketika sekolah itu masih bernama Leergang, tempat belajarnya di sebuah rumah berdinding tepas milik ayah Mansyur. Lama belajar dua tahun. Tujuannya, mendidik calon guru agama yang cakap agar dapat meningkatkan mutu madrasah dan menyeragamkan rencana pelajaran[27]. Pada tahun 1939, didirikanlah PERGUISA (Persatuan Guru-Guru Islam Seluruh Aceh) yang tujuannya diambil alih oleh PUSA ( Persatuan Ulama Seluruh Aceh)[28].
               Leergang tak lama beralih nama menjadi Darul Mu’allimin. Di situ Hasbi hanya sebagai seorang guru, ia tampaknya tak puas, maka pada tahun 1940, ia mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Darul ’Irfan. Tanah dan bangunan tiga lokal sekolah dibeli dan dibangun dengan uang yang dikumpulkan dari teman dan bekas murid-muridnya. Sekolah itu bubar pada masa pendudukan Jepang yang pahit itu.
               Pada tahun 1948, Bupati Aceh Utara meminta Hasbi menjadi guru dan memimpin Sekolah Menengah Islam (SMI) yang didirikan di Lhokseumawe. Di antara guru yang mengajar pada madrasah ini ada juga orang-orang yang mengungsi dari perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur yang dikenal dengan sebutan Medan Area[29].
               Lebih setahun Hasbi setelah kembali dari menghadiri KMI (Kongres Muslimin Indonesia) XV yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember 1949. Hasbi mendapat tawaran dari Menteri Agama, KH. Wahid Hasjim, untuk menjadi tenaga pengajar pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)[30].
               Didorong oleh semangat pengabdian yang lebih besar dari pada bayangan kesulitan hidup yang harus dihadapinya nanti di Yogyakarta, dan setelah dirundingkan dengan anggota keluarganya, dengan membulatkan niat ia menerima tawaran ini. Dengan membawa serta anak dan isterinya ia tiba di Yogyakarta dalam bulan Januari 1951, delapan bulan sebelum PTAIN diresmikan[31].
               Hasbi meniti jenjang kepangkatan dalam tugas-tugasnya sebagai guru di PTAIN setapak demi setapak. Dimulai dari tenaga pengajar di Sekolah Persiapan, meningkat ke jabatan direkturnya. Setelah itu, ia dipercaya memelihara mata kuliah Hadits, yang terbukti ia mampu melaksanakannya. Akhirnya pada tahun 1960 ia dipromosikan menjadi Guru Besar.
               Bersamaan dengan peralihan PTAIN ke IAIN, Hasbi diangkat menjadi Dekan Fakultas Syari’ah berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.35 Tahun 1960. Jabatan ini dipangkunya selama dua belas tahun sampai ia pensiun pada tahun 1972. Sejak September 1960 sampai 12 Desember 1962, ia merangkap jabatan sebagai Dekan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh yang dibuka waktu itu.
               Setelah Hasbi melepaskan jabatan Dekan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh, antara tahun 1963 sampai 1966, ia merangkap pula jabatan Pembantu Rektor III di samping Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Yogyakarta[32].
               Di samping merangkap jabatan di IAIN, Hasbi juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Islam Swasta. Sejak tahun 1964 ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975, ia mengajar dan menjabat Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sulthan Agung (Unissula) di Semarang. Antara tahun 1961 sampai tahun 1971 dia menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad Surakarta, di samping pernah pula menjabat Rektor Universitas Cokroaminoto[33] yang bermula dari Akademi Agama Islam (AAI) di Surakarta. Nama Hasbi dipasang pula sebagai pengajar Siyasah Syari’ah di IAIN Wali Songo Semarang, di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Ujung Pandang. Setelah itu, Hasbi juga menjabat Ketua Lembaga Fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan Pemimpin Post Graduate Course (PGC) dalam Ilmu Fiqh bagi Dosen IAIN se-Indonesia. Ia juga Ketua Lembaga Fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan Anggota Majelis Ifta’ wat Tarjih DPP Al-Irsyad.

8.   Perjuangan Di Bidang Politik
               Langkah awal yang diambil Hasbi dalam perjuangan politik adalah menggabungkan diri dan mengambil peran aktif dalam organisasi ”Islam Menjadi Satoe”, yang didirikan oleh Syaikh al-Kalali di Lhokseumawe pada tahun 1920, tepat pada waktu pemimpin-pemimpin SI di Aceh ditangkap dan dibuang ke luar Aceh[34], dan Hasbi memperoleh syahadah dari Krueng Kale.
               Organisasi ini tidak berusia panjang. Aktivitasnya yang jelas, kecuali mendirikan sekolah yang bernama al-Irsyad setelah Hasbi pulang dari Surabaya, tidak dapat dilacak karena tidak diketemukan dokumen yang merekamnya.
               Pada tahun 1931, Hasbi dengan beberapa orang temannya, mendirikan cabang Jong Islamieten Bond (JIB) di Lhokseumawe, dan ia menjabat sebagai ketuanya. JIB yang lahir pada tahun 1925 adalah pecahan dari Jong Java, karena mereka tidak sepakat dengan Jong Java yang netral terhadap masalah agama. Di bawah bimbingan Haji Agus Salim, JIB berhasil menempa tokoh-tokoh pergerakan Muslim yang berwatak dan mempunyai integritas[35].
               Dengan bergerak dalam JIB, organisasi kepemudaan yang bersemangat kebangsaan, gerak gerik Hasbi mulai diawasi oleh aparat pemerintah kolonial Hindia Belanda, termasuk dengan siapa ia bergaul. Ketika mengadakan pertemuan dengan Cut Seuman, Ketua Partai Muslimin Indonesia cabang Medan, yang datang berkunjung ke Lhokseumawe pada tanggal 23 Januari 1933, tak urung peristiwa ini menjadi bahan laporan politik polisional. Sejak itu, Hasbi menjadi orang yang ”tidak disukai” berada di Lhokseumawe. Ia harus keluar dari Lhokseumawe. Sri Maharaja Mangkubumi yang menghendaki agar Hasbi menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Qadli Chik, tidak juga mampu mempertahankan agar Hasbi tidak harus keluar dari Lhokseumawe. Maka pada tahun 1933 itu juga, Hasbi meninggalkan kampung halamannya pindah ke Kutaraja.
               Kepindahan Hasbi ke Kutaraja, justru memberi peluang lebih luas baginya untuk bergerak. Kutaraja adalah ibukota Keresidenan dan bekas pusat kerajaan Aceh tempo dulu. Setibanya di Kutaraja, Hasbi segera menggabungkan diri dan menjadi pengurus organisasi Nadil Ishlahil Islam (Kelompok Pembaruan Islam) yang didirikan di Kutaraja pada tahun 1932 dan diketuai oleh T.M. Usman, redaktur Soeara Atjeh. Pada waktu Hasbi menggabungkan diri ke dalam organisasi ini, telah ada lima puluh orang yang menjadi anggotanya. Dalam rapat umum yang diselenggarakan oleh organisasi ini, pada tanggal 19 Maret 1933 dipermaklumatkan bahwa Soeara Atjeh menjadi organ Nadil Ishlahil Islami dan Hasbi ditunjuk sebagai wakil redakturnya. Dalam rapat umum itu telah pula memberi sambutan: Teuku Nyak Arief, Tengku Syaikh Ibrahim Lam Nga (Jadam Montasik), ’Abdullah Raini (JIB), ’Abdullah Manaf (Muhammadiyah) dan Raden Soegondo (Taman Siswa). Semua penyambut ini menyatakan bersimpati dan mendukung perkumpulan yang baru lahir itu[36].
               Sejak pindah ke Kutaraja, di samping menggabungkan diri dengan Nadil Ishlahil Islami, Hasbi juga mendaftarkan diri menjadi anggota Muhammadiyah. Pada tahun 1938 ia menduduki jabatan ketua Cabang Kutaraja, dan pada tahun 1943-1946 ia menduduki jabatan Konsul (Ketua Majelis Wilayah) Muhammadiyah Daerah Aceh. Orang-orang yang bergabung dalam Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (PUSA), yang didirikan pada tahun 1939, melihat Muhammadiyah sebagai saingan.
               Sikap persaingan antara PUSA dan Muhammadiyah membawa akibat tersendiri bagi Hasbi. Antara ia dan Tengku Muhammad Daud Beureueh timbul suasana ketidakserasian, yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1928, sekembalinya dari Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang, Hasbi menjabat Konsul Muhammadiyah Daerah Aceh dan Tengku Beureueh menduduki jabatan Ketua PUSA.
               Posisi dan peran yang dimainkan Hasbi pada masa pendudukan Jepang jauh berbeda dari masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, ia adalah seorang ulama independen, berdakwah di tengah-tengah masyarakat dan mengajar di sekolah-sekolah swasta. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi salah seorang yang menduduki jabatan dalam pemerintahan bala tentara Jepang hal ini terjadi berkaitan dengan sikap politik Jepang terhadap ulama yang berbeda dengan sikap politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda memperlakukan ulama sebagai musuh yang harus ditundukkan dengan kekuatan senjata dan sama sekali tidak ada kompromi. Sementara Jepang, di samping merasa golongan penguasa anak negeri yang pernah mengecap kenikmatan dari Belanda tidak mau bersetia kepadanya, sadar pula bahwa pengaruh ulama di kalangan masyarakat muslim Indonesia jauh lebih besar dari pada pengaruh penguasa anak negeri. Jepang hendak memanfaatkan pengaruh ulama ini untuk kepentingannya sendiri.
               Di Aceh, Jepang bahkan dijemput oleh pemuka-pemuka PUSA. Diperkirakan, dua minggu sebelum pecah Perang Pasifik, pemimpin-pemimpin PUSA telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Jepang guna mengusir Belanda[37]. Jepang sendiri memang telah mempersiapkan jalan rata untuk masuk ke Aceh, dengan membentuk gerakan F. M. Joenoes Djamil[38], dalam naskah yang ditulis pada tahun 1364/1944 yang tidak diterbitkan, menceriterakan sikap PUSA menyambut Jepang.)
               Hasbi bukan anggota PUSA, tidak pula Gerakan F. Ia adalah anggota Muhammadiyah, karena itu dia sama sekali tidak punya andil dalam menerima kedatangan Jepang di Aceh. Akan tetapi apa pula alasan bagi Jepang dia diangkat menjadi Zyonin Iin (anggota harian) Syu Kyo Hoin (Mahkamah Syar’iyah), Wakil Ketua Maibkatra (Majelis Agama Islam untuk Bantuan Asia Timur Raya) yang didirikan pada bulan Januari 1943, anggota Aceh Cuo Sangi Koi, anggota Sumatera Cou Sangi In dan anggota perutusan untuk menghadiri sidang para ulama se-Sumatera dan Malaya di Shonanto (Singapura) bersama-sama dengan Muhammad Daud Beureueh, Ketua Umum Pengurus Besar PUSA. Menurut Piekaar, pertimbangan Jepang mengangkat Hasbi adalah karena ia mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat Aceh. Piekaar juga mengatakan bahwa Jepang memaksa Hasbi duduk di Maibkatra[39].
               Demikianlah posisi yang diduduki Hasbi dalam masa pendudukan Jepang. Hasbi yang tidak punya jasa apa-apa terhadap penerimaan pendaratan Jepang di Aceh didudukkan sejajar dengan orang-orang PUSA. Hal ini memberi akibat tersendiri bagi penderitaan Hasbi. Akan tetapi dalam satu segi, sikap Jepang yang mensejajarkan Hasbi dengan orng-orang PUSA telah membuka kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal lebih dekat yang melahirkan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat walaupun berbeda. Kesenjangan antara Muhammadiyah dan PUSA sejak itu tereliminasikan. Keduanya mendukung Majelis Syura Muslimin Indonesia.
               Perjuangan Hasbi pada awal kemerdekaan mengalami nasib yang mengenaskan. Selama dua tahun lebih sejak bulan Maret 1946 dia disekap oleh apa yang dinamakan ”Gerakan Revolusi Sosial” yang dimotori oleh orang PUSA di Aceh. Satu tahun lebih ia mendekam di Lembah Burnitelong dan Takengon, setelah beberapa hari dikurung di Tangse dan selama satu tahun lebih pula berstatus tahanan kota. Hasbi memperoleh status tahanan kota berkat desakan dan permintaan Muhammadiyah dan pemerintah pusat. A.R. Sutan Mansur, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang pernah membuka bengkel sepeda di Lhokseumawe, khusus datang ke Aceh untuk membicarakan soal Hasbi dengan tokoh-tokoh gerakan revolusi yang telah menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan daerah Aceh. Berikutnya datang pula telegram dari Wakil Presiden Muhammad Hatta yang meminta agar Hasbi dibebaskan.
               Atas desakan Muhammadiyah dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, akhirnya Hasbi diizinkan pulang ke Lhokseumawe pada pertengahan tahun 1947. Untuk sementara ia masih berstatus tahanan kota, namun diizinkan mengajar bahkan menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam (SMI) di Lhokseumawe. Status tahanan kotanya dicabut pada tanggal 28 Februari 1948 dengan surat yang ditandatangani oleh Wakil Residen Aceh, Muhammad Amin.
               Selepas dari tahanan dan dinyatakan bebas, Hasbi kembali aktif bergerak. Ia melupakan semua pahit getir yang diderita masa lalu. Alat perjuangan yang digunakannya adalah Majelis Syura Muslimin Indonesia. Dia menjabat sebagai Ketua Cabang Kabupaten Aceh Utara.
               Pada penghujung tahun 1949, Hasbi yang mewakili Muhammadiyah bersama Ali Balwi yang mewakili PUSA, atas nama Masyumi berangkat ke Yogyakarta menghadiri Kongres Muslimin Indonesia (KMI) XV. Dalam KMI ini Hasbi menyampaikan prasaran yang berjudul ”Pedoman Perdjuangan Umat Islam mengenai Soal Kenegaraan”[40].
               Di waktu sedang berada di Yogyakarta menghadiri KMI XV itu, Hasbi diperkenalkan kepada Kiai Wahid Hasyim yang menjadi  Menteri Agama dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia Pendirian PTAIN oleh Haji Abu Bakar Aceh, seorang pegawai tinggi pada Kementerian Agama. Selesai Kongres, Hasbi pulang kembali ke Lhokseumawe. Kembali pada pekerjaannya mengajar dan memimpin SMI di samping meneruskan kegiatan baleenya di Mon Geudong. Ia mendirikan Cabang Persatuan Islam (Persis) di Lhokseumawe bersama-sama anggota lainnya. Rupanya ketika ia mengahadiri KMI XV itu telah dihubungi oleh pemimpin-pemimpin Persis agar bersedia mendirikan cabang di Aceh yang sampai saat itu belum ada sebuah pun cabangnya di sana.
               Dalam pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal 29 September untuk DPR dan 15 Desember 1955 untuk Konstituante, Hasbi terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia yang pelantikannya berlangsung pada tanggal 10 November 1956. Oleh fraksinya ia didudukkan dalam Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Dalam masa kegiatannya di Konstituante yang berumur satu tahun sembilan bulan itu, yang dibubarkan berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hasbi pernah tiga kali tampil dalam sidang-sidang pleno untuk menyampaikan pendapat fraksinya. Penampilannya yang pertama terjadi pada tanggal 11 Juni 1957, dalam acara Pemandangan Umum tentang Sistematika Undang-Undang Dasar. Yang kedua pada tanggal 5 Februari 1958 dalam membahas tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dan yang ketiga pada tanggal 26 Agustus dalam tahun yang sama ketika membahas tentang Asas-Asas Dasar Negara.
               Masih dalam kedudukannya sebagai anggota Konstituante, pada akhir tahun 1957, Hasbi pergi ke Pakistan bersama-sama dengan HAMKA, Anwar Musaddad, dan Muhammad Rasyidi yang pada waktu itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Pakistan, guna menghadiri The International Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of the Punjab yang berlangsung di Lahore pada tanggal 29 Desember 1957 sampai dengan 8 Januari 1958. Dalam Colloquium ini, Hasbi menyampaikan makalah yang berjudul ”Sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan (The Attitude of Islam Towards Knowledge (’Ilm)”. Hasbi mempresentasikannya dalam bahasa Arab[41]. Inilah kunjungan Hasbi ke luar negeri yang pertama dan yang terakhir.
               Demikian riwayat perjuangan Hasbi di bidang politik. Dari sini kelihatan bahwa Hasbi konsisten sebagai perintis tradisi Kaum Pembaru Indonesia, bukan hanya di Aceh. Sikap ke-Indonesia-annya telah mulai sejak ia masih berdiam di Aceh mendirikan cabang JIB di Lhokseumawe. Ia tidak memasuki PUSA, mungkin bukan hanya karena ia sudah memilih Muhammadiyah, tetapi juga karena dia melihat PUSA berbau lokal Aceh. Dalam mempertahankan pendirian, Hasbi tidak kuatir dimusuhi. Ia terus menulis walaupun berada dalam tahanan.

9.      Perjuangan Dalam Bidang Dakwah
               Hasbi telah berdakwah sejak berusia muda. Tema pokok yang dibawanya, selain menginformasikan tentang Iman, Islam, dan Ihsan, ia juga memesankan bagaimana pemahaman dan cara beragama yang benar. Setelah ia mengambil posisi Kaum Pembaru, kritik-kritiknya dilancarkan ke sasaran bid’ah, syirik, dan khurafat. Ia mengeritik ushalli, talqin, kenduri kematian, dan yang sebangsanya. Ia mengeritik membaca doa dengan membakar kemenyan. Ia mengeritik ziarah ke makam wali untuk melepas nazar atau berdoa meminta sesuatu. Semua kritiknya cukup keras dan bernada tinggi. Ismail Ya’kub melukiskannya dengan kata: ”Karena kerasnya suara beliau orang tersentak dari tidurnya”[42].
               Suara keras Hasbi menimbulkan reaksi yang sama kerasnya pula dari pihak kaum tradisionalis yang mempertahankan tradisi-tradisi tersebut. Beberapa kali diadakan tatap muka antara Hasbi dan mereka untuk membahas soal ini. Namun kedua belah pihak tidak menemukan titik temu. Kontrolir Lhokseumawe pernah pula menyelenggarakan diskusi soal ini dengan mengundang Hasbi dan ulama-ulama yang tidak sependapat dengannya, yang berlangsung di kantornya sendiri. Para ulama, lawan diskusi Hasbi, datang lengkap dengan membawa kitab-kitab yang cukup banyak. Hasbi datang dengan tangan kosong. Dalam koceknya hanya ada sebuah buku notes dan sebatang pensil. Teman-teman pendukungnya merasa khawatir terhadap sikap Hasbi dan menyarankan agar ia membawa kitab pula. Hasbi menjawab: ”Saya datang bukan untuk membahas kitab, tetapi membahas masalah agama. Kitab itu hanya sekedar maraji’ (referensi), dan berkat sekedar doa ayah dan saudara-saudara sekalian, saya telah menyelami isinya. Kalau perlu saya pinjami dari mereka sebentar, lagi pula, kitab-kitab itu hanya pendapat seseorang, kita tidak wajib mempercayainya sebagai suatu kebenaran mutlak”. Diskusi berjalan seru, dan walaupun Hasbi sering membetulkan keliru baca lawan diskusinya, namun diskusi tersebut berakhir tanpa konklusi.
               Entah karena kehabisan hujjah (argumen) ataukah karena sudah menjadi kebiasaan di kalangan kaum Muslimin sejak dulu yang segera mencap menyeleweng, murtad, kafir, telah tercekoki pemikiran orientalis yang ingin merusak Islam dan sebagainya, terhadap orang yang tidak sepaham dengannya. Ibnu Taimiyah dan Abduh pernah mendapat cap penyeleweng, perusak yang merusak Islam. Hasbi juga dituduh sesat yang menyesatkan, Wahhabi, dan bahkan ada pula yang mengatakan bahwa ia sudah menjadi kafir. Alasan ia dituduh kafir karena ia berpakaian pantalon, berdasi, dan memangkas rambut, yang merupakan pakaian dan kebiasaan kaphee. Cuma yang tidak bisa dimengerti mengapa ia disebut Wahhabi, padahal Wahhabi juga sangat anti dasi dan potong rambut. Apakah hanya karena ia anti ziarah kubur untuk bernazar dan berdoa? Mungkin.
               Tentang Hasbi berpakaian cara Barat itu, Ismail Ya’kub menceriterakan:
Pada tahun 1929 sewaktu saya berkereta api dari Lhoksukon (Aceh Utara) ada tiga orang pemuda yang duduknya tidak berapa jauh dari tempat duduk saya. Semua pembicaraannya dalam bahasa Melayu, saya dengar dengan jelas dan terang. Ketika seorang dari mereka bertiga, yang kulitnya hitam manis memakai baju kemeja berdasi dengan tidak berpeci membaca ayat ”ta’āwanū ’alal birri wat taqwa, wa lā ta’āwanū ’alal itsmi wal ’udwān, ”saya sangat tertarik, lalu mendekati salah seorang dari mereka, menanyakan siapa yang membaca ayat itu. Sebab sangat ganjil, menurut saya, ada orang yang berdasi dan tak berpeci pula dapat membaca dan menghafal ayat al-Quran. Karena waktu itu, kalau orang mengerti agama, tidak berdasi tapi berpeci. Sebab dasi dan memotong rambut adalah haram pada waktu itu dan pakaian kafir. Karena dasi itu tali leher yang tersebut dalam kitab ”Masailal Muhtadi... sekarang saya menjumpai sebaliknya lalu saya bertanya dengan berbisik: Siapa membaca ayat tadi. ”Orang itu menjawab ”Tuan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy”. Beliau waktu itu memimpin perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe penggerak dan pembangun umat[43].

               Sri Maharaja Mangkubumi, pada tahun 1929, merencanakan penyelenggaraan sebuah perdebatan besar antara Hasbi dan penentang-penentangnya dalam upaya meredakan ketegangan. Perdebatan tersebut hendak dilangsungkan di masjid Mon Geudong seusai shalat Jumat. Penentang Hasbi di bawah pimpinan Tengku Abdullah Idi Cut yang lebih dikenal dengan sebutan TB (Timur Barat), dengan didampingi oleh gurunya bernama Tengku Muhammad Usman Pucok Alue Simpang Ulim. Hasbi bersedia menghadiri diskusi atau muthala’ah seperti yang dinamakan oleh Sri Maharaja Mangkubumi, tetapi dengan syarat harus ada penengah. Jika tidak, kata Hasbi, muthala’ah itu tidak akan ada hasilnya seperti yang sudah-sudah. Yang ada hanya bersitegang urat leher, menegakkan benang basah. Hasbi mengusulkan Syaikh Ismail Jambek atau orang yang sekualitas dengannya menjadi penengah. Oleh karena moderator yang diusulkan Hasbi tidak mampu didatangkan, maka Hasbi tidak mau hadir. Muthala’ah gagal berlangsung. Abdullah TB berbicara sendiri dihadapan orang banyak yang datang dari seluruh pelosok Aceh Utara antara lain, Tengku Abdurrahman Peusangan yang sengaja datang untuk mendengar muthala’ah itu. Para hadirin bertepuk tangan ketika Abdullah TB tampil sendirian dengan menuding Hasbi tidak berani datang karena takut kalah berhujjah dengannya.
               Sekembali dari ”tawanan” di Takengon, masih dalam status tahanan kota, Hasbi membangun sebuah dayah yang disebut balee (balai) di samping rumahnya, di bekas dayah ayahnya dahulu, di Mon Geudong Lhokseumawe. Di balee ini sehabis shalat Shubuh dan seusai shalat Maghrib, ia memberikan pelajaran agama dan difokuskan pada cara beribadah yang benar seperti yang dituntun oleh Nabi. Untuk shalat, pelajaran diberikan secara teori dan praktek. Untuk keperluan itu jamaah baleenya diwajibkan datang shalat berjamaah, terlebih lagi untuk Shubuh, Maghrib, dan Isya’.
               Dalam bulan puasa, dilakukan buka puasa bersama di balee. Anggota jamaah membawa makanan yang dimakan sendiri, atau dipertukarkan. Bagi yang membawa lebih, diminta untuk menyuguhkannya kepada yang lain. Buka puasa bersama itu hanya sekedar minum dan makan-makan ringan, biasanya kanji rumbi bubur yang dimasak dengan kaldu dan rempah-rempah. Setelah shalat Maghrib, mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan makanan berat, lalu kembali lagi untuk shalat Isya’ yang diteruskan dengan tarawih. Ada pula anggota jamaah yang baru pulang setelah tarawih. Sambil menunggu shalat Isya’, mereka yang tidak pulang bertanya masalah-masalah agama. Hasbi melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat yang terdiri atas empat, empat rakaat sekali salam dan tiga rakaat witir sekali salam. Semuanya berjumlah sebelas rakaat. Pada hari-hari libur ia sering mengajak anggota jamaahnya bersama keluarga mereka berpiknik ke pantai. Pantai Lhokseumawe khususnya Ujong Blang, memang indah. Pernah pula buka puasa bersama di pantai. Shalat Maghrib dilakukan di Meunasah yang ada di dekatnya. Di meunasah itu Hasbi menjadi makmum.
               Aktivitas Hasbi mendirikan balee itu bukan tidak ada reaksi. Orang-orang yang tidak sepaham dengannya berusaha mencegah orang bergabung ke Balee Hasbi. Ada orang yang menakut-nakuti jangan dekat-dekat dengan Hasbi sebab ia seorang bekas ”tawanan politik” yang masih dalam status tahanan kota. Ada juga yang masih mempermasalahkan soal-soal furu’iyah tempo dulu. Ada pula yang mengatakan Hasbi membangun jamaah sendiri. Isu ini memang mengakibatkan balee pengajian Hasbi tidak mendapat jamaah yang banyak. Namun jamaah yang sedikit itu kemudian menjadi penerus Hasbi setelah ia berangkat ke Jawa.

10. Penutup
               Demikianlah riwayat hidup Hasbi yang berjuang melalui jalur-jalur dakwah, sekolah, organisasi, dan tulisan. Ia yang dibesarkan dalam pergulatan, pada perjalanan hidupnya mendapat juga pengakuan dan penghargaan. Sejak remaja, masyarakat sekelilingnya mengakui kekayaan ilmu dan keterampilannya dalam memploh-ploh masalah.
               Hasbi yang memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan secara otodidak, menjelang wafatnya memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman. Yang satu diperolehnya dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975, dan yang satu lagi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.
               Hasbi sangat berjasa dalam pembinaan IAIN. Di tangan Hasbi Fakultas Syari’ah meningkatkan mutunya sehingga dinyatakan sebagai Fakultas Utama dan penuh disiplin. Hasbi mempunyai keahlian mendalam mengenai ilmu-ilmu keislaman, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Tulisan-tulisan Hasbi telah menimbulkan pemikiran-pemikiran yang menghidupkan dan mengembangkan daya ijtihad, menghormati buah pikir ulama terdahulu, memegang prinsip salaf shalih dan menampakkan keagungan syariat Islam. Lebih dari seratus buku dan sejumlah artikel yang beredar ke seluruh pelosok tanah air bahkan sampai di kawasan Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, telah menjadi perangsang utama bagi gairah masyarakat untuk mempelajari Islam dari penulis Muslim sendiri melalui bahasa Indonesia. Tulisan-tulisan Hasbi yang mengajak membandingkan pendapat-pendapat ulama antar mazhab telah mengurangi secara berangsur-angsur sikap phobi terhadap mazhab yang tidak dianutnya. Rintisan yang dilakukan oleh Hasbi yang menekankan kepada kemaslahatan umat, telah menggugah masyarakat akan arti pentingnya fiqh dalam pembinaan Hukum Nasional sebagai salah satu unsur pembangunan bangsa. Hasbi adalah orang pertama yang mencetuskan gagasan perlu dibentuk fiqh yang berkepribadian Indonesia. Dengan begitu ia telah membangkitkan semangat intelektualisme dalam memahami Islam di kalangan pemuda Indonesia, yang menjadi modal pula dalam mendidik kader bangsa serta menumbuhkan tunas pejuang dalam rangka ikut serta mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
               Atas jasa-jasanya, pihak IAIN Ar-Raniry telah memberikan dua penghargaan kepada Hasbi.
1.      Penghargaan atas keikutsertaannya membangun IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Diterimakan di Darussalam Banda Aceh pada Hari Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, tanggal 2 September 1969.
2.      Penghargaan selaku Pembina Utama IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Diterimakan kepada Nourouzzaman Shiddieqy di Gedung DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 3 Oktober 1979.
               Hasbi wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta pada hari Selasa, tanggal 9 Desember 1975 pukul 17.45, tepat sepekan mendahului Prof.Dr.Hazairin, penggagas Hukum Waris Islam di Indonesia. Sebelum dibawa ke rumah sakit tempat ia menghembuskan nafas terakhir, ia sedang menjalani karantina untuk naik haji bersama isteri atas undangan Menteri Agama R.I.
               Hasbi dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta Selatan. Ia wafat meninggalkan seorang isteri, empat orang anak (dua laki-laki dan dua perempuan) dan tujuh belas orang cucu.
 
Sumber
http://muhajir-murlanalashri.blogspot.co.id/2011/07/biografi-profdrtmuhammad-hasbi-ash.html