1. Pendahuluan
Hasbi
Ash-Shidieqy (selanjutnya ditulis Hasbi saja), salah seorang pendiri
IAIN Ar-Raniry adalah seorang ulama yang telah banyak menulis buku dan
telah banyak melakukan ijtihad terutama dalam bidang fiqh. Dia adalah
seorang pembaharu dalam alam pemikiran Indonesia abad dua puluh dalam
bidang fiqh. Sebenarnya pemikirannya bukan hanya dalam bidang fiqh saja,
tetapi juga dalam bidang tafsir, hadis, dan ilmu kalam, tetapi yang
menonjol adalah dalam bidang fiqh. Dia ingin memperbarui Islam di
Indonesia dengan jalan menciptakan “Fiqh Indonesia”, yaitu fiqh yang
ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan
watak Indonesia. Caranya dengan mengefektifkan ijtihad.
Memperingati
Hari Jadinya yang ke 45, pihak IAIN Ar-Raniry menulis sebuah buku
tentang biografi orang-orang yang telah memimpin IAIN Ar-Raniry yaitu
orang-orang yang pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry sejak berdirinya
IAIN Ar-Raniry sampai Rektor terakhir yang sudah mengakhiri masa
pengabdiannya ketika IAIN Ar-Raniry mencapai usia 45 tahun.
Sebagaimana
diketahui, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh diresmikan berdirinya pada 5
Oktober 1963 oleh Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri, sebagai IAIN
ketiga di Indonesia setelah IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan IAIN
Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Hasbi
Ash-Shiddieqy tidak pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry, akan tetapi
dia adalah Dekan pertama Fakultas Syari’ah yang dibuka di Darussalam
Banda Aceh pada tahun 1960. Ketika di Darussalam Banda Aceh dibuka
Fakultas Syariah yang berinduk ke IAIN Yogyakarta, Kolonel Syamaun
Gaharu (Panglima Kodam I/Iskandar Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur
Propinsi Daerah Istimewa Aceh) meminta dan mengusulkan Hasbi menjadi
Dekannya. Pada waktu itu Hasbi menjabat Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Yogyakarta. Fakultas Syari’ah yang dibuka di Darussalam Banda Aceh pada
tahun 1960 itulah cikal bakal lahirnya IAIN Ar-Raniry pada tahun 1963.
Oleh
karena itulah, penyertaan biografi Hasbi bersama biografi para Rektor
IAIN Ar-Raniry pada peringatan Hari Jadi Perguruan Tinggi ini dianggap
penting karena Hasbi dianggap sangat berjasa dalam proses berdirinya
Institut ini. Apa lagi ada pemikiran bahwa seharusnya berdirinya
Fakultas Syari’ah pada tahun 1960 sebenarnya waktu itulah dihitung
sebagai tahun berdirinya IAIN Ar-Raniry.
2. Leluhur Dan Lingkungan
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada 10 Maret
1904, di tengah-tengah keluarga ulama pejabat. Ibunya, Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi.
Ia juga keponakan Abdul Jalil, berjuluk Tengku Chik di Awe Geutah, oleh
masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai seorang wali yang dikeramatkan.
Kuburannya masih diziarahi untuk meminta berkah. Pamannya yang lain,
bernama Tengku Tulot, menduduki jabatan Raja Imeum di awal pemerintahan
Sri Maharaja Mangkubumi.
Ayah
Hasbi, al-Haj Tengku Muhammad Husen Ibn Muhammad Su’ud, menduduki
jabatan Qadli Chik, setelah mertuanya wafat, adalah anggota rumpun
Tengku Chik di Simeuluk Samalanga. Tengku Chik di Simeuluk adalah
keturunan Faqir Muhammad (Muhammad al-Ma’shum). Faqir Muhammad, sebelum berangkat ke Aceh adalah raja di Negeri Mangiri di Malabar. Di Malabar, Islam telah tersiar sejak masa hayat Nabi dan dilakukan oleh para penyiar Islam yang datang khusus untuk berdakwah. Faqir Muhammad berangkat ke Aceh bersama Syaikh Ismail, utusan Syarif Makkah, untuk berdakwah ke Samudera Pasai,
sekitar tahun 1270-1275. Ia berangkat dengan membawa seorang anak
laki-lakinya dan menyerahkan tahta kerajaan Mangiri kepada salah seorang
anak laki-lakinya yang lain. Kedua orang inilah yang mengislamkan
Meurah Silu, raja Pasai, yang setelah Muslim berjuluk Malik As-Shalih.
Akhir
kisah perjalanan Faqir Muhammad tidak jelas terekam. Namun bisa diduga,
ia atau putranya cukup lama tinggal di Samalanga (Samarlangga) yang
waktu Marco Polo datang ke situ pada tahun 1292 melihat penduduknya
masih pagan.
Di Samalanga itulah ia meninggalkan anak keturunannya, keturunan Abu
Bakar Ash-Shiddiq di Aceh yang kemudian membentuk trah Tengku Chik di
Simeuluk.
Keturunan
Tengku Chik di Simeuluk di Samalanga tercatat dalam sejarah Aceh selaku
pendidik dan pejuang. Selaku pendidik, mereka membangun rangkang dan
dayah (di Jawa disebut pesantren). Selaku pejuang, mereka banyak
berguguran di medan perang melawan kaphee Belanda.
Ketika
perang Aceh meletus (1873-1912), Samalanga mencatat sejarah
kepahlawanan yang heroik dan mengharukan. Sampai tahun 1880 telah tiga
kali Samalanga, khususnya Batee Ilik, digempur Belanda. Muhammad Su’ud,
kakek Hasbi, telah separuh baya ketika perang Aceh meletus. Selaku
seorang pejuang dan pendidik, pemimpin dayah yang diwarisi dari
leluhurnya, ia tergugah oleh kesengsaraan yang terjadi di sekelilingnya
itu. Semua dana, daya, dan pikiran tercurah dan terpusatkan untuk
perang. Su’ud berpendapat, tugas membela negara memang kewajiban utama,
namun mempersiapkan kader ulama calon pemimpin umat tidak pula boleh
dilupakan. Maka, ia menyuruh anaknya, Muhammad Husein, ayah Hasbi,
keluar dari Batee Ilik pergi menuntut ilmu ke tempat lain.
Muhammad
Husein keluar dari Batee Ilik setelah Uleebalang Samalanga menyerah dan
dayah ayahnya hancur. Tujuannya hendak pergi ke Yan, ibukota sebuah
distrik di Kedah (Malaysia sekarang). Pada waktu itu, Yan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan Belanda, memiliki pengajian yang cukup punya
reputasi. Di situ pula kedudukan Dewan Delapan yang dibentuk oleh Habib Abdurrahman yang mengatur pengiriman senjata ke Aceh.
Jalan
ke Yan harus melalui pelabuhan Lhokseumawe. Ketika Husein tiba di
Lhokseumawe, tahun 1881, kota yang baru saja dapat direbut Belanda itu
diserang balik oleh lebih kurang tiga ribu muslimin. Karena
itu Belanda memperketat pengawasan lalu lintas dari dan ke Malaya.
Maka, Husein pun terhalang niatnya ke Yan. Ia terpaksa untuk sementara
waktu tinggal di Lhokseumawe membuka pengajian dan dikawinkan dengan
Amrah, puteri Qadli Chik Abdul Aziz. Dua tahun kemudian setelah beranak
satu, seorang perempuan yang diberi nama Aisyah, yang dipanggil dengan
nama Tengku Maneh, niat Husein belajar ke Yan yang tak pernah padam itu
kesampaian. Atas bantuan biaya dari mertuanya, ia pun berangkat ke Yan.
Dua tahun ia belajar di Yan, dan kemudian pergi ke Makkah dengan niat
haji dan belajar. Setahun ia tinggal di Makkah, terjadi pada penghujung
abad XIX yang pada ketika itu Snouck Hurgronje menyamar dengan nama
al-Hajj Abd al-Ghaffar berdiam di Makkah mengamat-amati gerak-gerik
orang Jawa disitu. Husein tidak bisa berlama-lama tinggal di Makkah walaupun ia ingin. Ia harus segera pulang, karena Belanda meningkatkan aktivitas perangnya di Aceh dengan niat untuk segera mengakhirinya.
Husein
mengambil jalan berjihad dengan mengajar. Atas bantuan mertuanya, ia
mendirikan sebuah rangkang. Karena sudah naik haji dan belajar pada
guru-guru di Makkah, rangkangnya segera berkembang menjadi dayah. Selang
beberapa waktu, ia pun dilantik sebagai Qadli Chik, menggantikan
kedudukan mertuanya yang telah wafat. Husein wafat pada tahun 1943
dengan meninggalkan delapan orang anak, lima laki-laki dan tiga
perempuan, saudara-saudara Hasbi, namun tidak meninggalkan banyak harta.
Hasbi adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash-Shidiq. Itulah sebabnya, sejak tahun 1925, atas saran Syaikh Muhammad Ibn Salim al-Kalali, ia menggunakan sebutan ash-Shiddieqy di belakang namanya sebagai nama keluarga.
3. Kisah Hidup
Hasbi
yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ---ulama, pendidik, dan
pejuang ---jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir
campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan
ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa
penderitaan seperti juga derita yang dialami oleh masyarakatnya. Selain
faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut
membentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin,
pekerja keras, berkecenderungan membebaskan diri dari kemungkinan
tradisi dan kejumudan serta mandiri tak terikat pada suatu pendapat
lingkungannya.
Hanya enam tahun ia mengenyam belaian kasih ibunya. Pada tahun 1910, bertepatan dengan tahun gugurnya Pocut Meutia,
ibunda Hasbi meninggalkan dunia yang fana ini. Hasbi menjadi piatu. Dua
tahun ia diasuh oleh Tengku Syamsiah yang lebih akrab dipanggil Tengku
Syam, saudara ibunya yang tidak berputra. Tengku Syam wafat pada tahun
1912, bertepatan dengan tewasnya Tengku di Barat.
Sepeninggal
Tengku Syam, Hasbi tidak kembali ke rumah ayahnya yang telah kawin
lagi. Ia memilih tinggal di rumah kakaknya, Tengku Maneh, bahkan sering
tidur di meunasah (langgar) sampai kemudian dia pergi meudagang
(nyantri) dari dayah ke dayah. Ia berjumpa ayahnya hanya pada waktu
belajar atau mendengar fatwanya dalam menyelesaikan perkara.
Sikap
Hasbi membebaskan diri dari kungkungan tradisi telah diperlihatkannya
sebelum ia merantau (mendagang). Larangan ayahnya tidak boleh bergaul
bebas dengan teman sebayanya, justru ia tidur bersama-sama mereka di
meunasah. Ayahnya selalu meminta seseorang muridnya menggendong Hasbi
jika bepergian. Tetapi Hasbi sendiri jika bermain sepeda, dialah yang
mengayuh dan teman-temannya membonceng. Dari sini sifat kepemimpinan
Hasbi mulai tampak. Sikapnya yang suka memprotes diperlihatkannya dengan
cara mengencingi air kolam (kulah) yang dipakai oleh para santri untuk
mandi dan berwudhu. Dengan dikencingi secara terbuka, terpaksalah kolam
itu dikuras. Sikap-sikap bebas inilah yang nanti membuat ia menolak
bertaklid bahkan berbeda paham dengan orang yang sealiran dengannya.
Hasbi
sejak remaja telah dikenal di kalangan masyarakatnya karena ia sudah
terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada tradisi yang disebut dengan meuploh-ploh
masalah, menguraikan masalah agama yang dipertandingkan. Masalah yang
disampaikan dalam bentuk syair harus dijawab oleh pihak lain. Kalau
tidak bisa menjawab, kelompok tersebut dinyatakan kalah dalam
pertandingan. Hasbi sering diminta mengambil peran sebagai penanya atau
penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan dalam diskusi-diskusi
tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika Hasbi populer di
kalangan masyarakatnya. Banyak orang menginginkan Hasbi jadi menantunya.
Sejak remaja dia sudah dipanggil dengan sebutan Tengku Muda atau Tengku
di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak lagi dipanggil dengan
nama dirinya tetapi dengan laqab-nya.
Hasbi
menikah pada usia sembilan belas tahun dengan Siti Khadijah, seorang
gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan
gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadjah
wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama. Anaknya yang dilahirkan
itu, Nur Jauhariah, segera pula menyusul ibunya kembali ke rahmat Allah.
Kemudian Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji
Hanum, saudara sepupunya. Tengku Haji Hanum atau lebih akrab dipanggil
dengan Tengku Haji Nom adalah saudara kandung Tengku Amrah, ibu Hasbi.
Dengan Tengku Nyak Asiyah inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai
akhir hayatnya. Dari perkawinannya ini lahir empat anak, dua perempuan
dan dua orang laki-laki.
4. Perilaku
Hasbi
yang mengalami bagaimana pahitnya tidak mengecap kasih sayang ibu dan
tegang dengan ayah, menjadi seorang yang sangat mencintai dan mengasihi
anak-anak dan cucu-cucunya. Bahkan dalam pernyataan kasih sayang itu
terlihat hal-hal yang agak aneh. Dia menginginkan anak dan cucunya
selalu berada di sekitarnya. Sebentar saja berpisah ia akan sibuk
mencarinya. Kalau anak dan cucunya terlambat pulang sekolah ia sudah
menunggu di pintu pagar. Apakah ini satu trauma yang dialaminya sebab ia
pernah terpisah dari keluarganya karena ditawan dalam peristiwa
”revolusi sosial” di Aceh tahun 1946 yang pada waktu itu cukup banyak
Uleebalang dan keluarganya mati terbunuh oleh penggerak revolusi?
Mungkin juga.
Hasbi
memang sayang pada semua orang. Pada tahun-tahun 1930-an sampai tahun
1945, ketika ia berdiam di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), rumah
sewaannya yang sempit ditumpangi pula oleh beberapa orang muridnya yang
tidak berstatus pembayar makan. Hasbi senang pula menerima dan melayani
tamu. Jika pembicaraan berkisar pada masalah politik atau masalah agama,
ia bisa berjam-jam duduk tanpa bosan.
Hasbi
sangat menghargai orang berpendapat. Ia tidak gusar jika pendapatnya
dibantah walaupun oleh anaknya sendiri. Bahkan dengan anaknya, ia
mengajak berdiskusi yang kadangkala berlangsung seperti orang
bertengkar. Tidak pula jarang terjadi, ia mendiskusikan sesuatu yang
sedang ditulisnya dengan anaknya yang bertindak sebagai juru ketik dan
korektor uji cetak buku-bukunya. Jika pendapat anaknya dirasa benar,
diakuinya. Jika salah, ia membetulkannya dan menasehati agar belajar
lebih banyak dengan membaca buku seperti yang diperbuatnya.
Ada
tiga hal yang Hasbi sangat jengkel jika dilakukan oleh anggota
keluarganya. Pertama, bermalas-malasan dan tidak mempergunakan waktu
senggang untuk membaca. Isterinya pun diharuskan membaca. Pukul setengah
lima pagi, ia membangunkan keluarga seisi rumahnya. Tidur siang tidak
boleh lebih dari satu jam. Kedua, pekerjaan tidak boleh ditunda. Semua
pekerjaan harus diselesaikan secepatnya. Pernah anaknya harus mengetik
naskahnya dari Subuh sampai tengah malam selama berhari-hari. Ia
menghendaki anaknya mencontohnya dalam bekerja keras. Ketiga,
buku-bukunya baik yang di rak maupun yang di atas meja, yang terbuka
atau yang tertutup, tidak boleh ada yang berpindah tempat. Pulang kerja,
yang pertama dilakukan adalah melihat buku, bukan membuka sepatu, jas
dan dasi, pakaian, apalagi makan. Jika ada buku yang berubah letak,
apalagi jika ia sedang membutuhkannya karena ada sesuatu yang hendak
dikonsultasikan, marahnya bisa meledak. Tetapi hanya sekedar suara.
Ada sebuah anekdot yang diceriterakan A.Hasjmy
bagaimana sikap Hasbi terhadap buku. Pada akhir tahun 1930-an, ketika
Hasbi mengajar di Madrasah Jadam Montasik, Hasjmy bertamu ke rumah Hasbi
dengan maksud meminjam buku. Menjawab permintaan Hasjmy, Hasbi
berkomentar, ”Ada dua golongan orang yang kepada mereka tidak boleh
dipinjamkan buku.” Pertama, orang yang tidak suka membaca. Mereka
meminjam buku hanya sekedar pinjam agar dikatakan ia seorang yang gemar
kepada ilmu. Orang ini tidak pernah membaca buku yang dipinjam itu.
Setelah dipinjam hanya digeletakkan di tempat yang mudah terlihat oleh
tamunya. Ketika ada seorang tamu yang ingin membacanya, buku dibiarkan
dibawa oleh orang itu. Buku itu tidak pernah kembali kepada pemiliknya.
Kedua, orang yang gemar membaca. Bagi orang ini seringkali buku yang
dipinjam itu ditahan lama, sampai kedua belah pihak menjadi lupa. Buku
itu pun tidak pernah kembali kepada pemiliknya. Hasbi menganjurkan
Hasjmy datang saja ke rumah dan membaca buku sepuasnya dan tidak membawa
pulang. Komentar Hasbi ini barangkali berdasarkan pengalamannya sendiri
yang sering kehilangan buku yang dipinjamkan, atau juga ia sendiri yang
menahan terlalu lama buku yang dipinjamnya sampai lupa siapa
pemiliknya.
Tentang minat baca Hasbi, Hasjmy menulis dalam harian Waspada sebagai berikut :
Yang amat saya kagumi terhadapnya dalam perjalanan itu,
yaitu kegemaran membacanya, sehingga segala kesempatan yang ada
dipergunakan untuk membaca tidak untuk mengobrol. Pada suatu malam kami
berkunjung ke rumah Adinegoro, yang Sekretaris Jenderal Sumatera Tjuo
Sangi In. Di rumah Adinegoro pada malam tersebut, kami asyik mengobrol
dengan kawan-kawan yang sudah lama tidak berjumpa, Tengku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy asyik berdiri di ruang perpustakaan Adinegoro
membolak-balik buku demi buku.
Minat baca Hasbi memang besar. Jarang orang melihat ia duduk atau berbaring tanpa buku di tangan. Dalam keadaan sakit pun ia terus membaca, sampai membuat isterinya protes.
5. Pendidikan
Hasbi telah khatam mengaji al-Quran dalam usia delapan tahun. Satu tahun berikutnya ia belajar qiraah dan tajwid
serta dasar-dasar tafsir dan fiqh pada ayahnya sendiri. Permintaan
Kontrolir Lhokseumawe kepada ayah Hasbi agar ia dimasukkan ke Sekolah
Gubernemeen ditolaknya. Ia khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran serani (nasrani), seperti juga ia menolak Hasbi dicacar karena takut dimasukkan ie kaphee
(air kafir). Hasbi baru mencacar dirinya setelah ia dewasa. Ayah Hasbi
menganjurkan anaknya menjadi ulama. Karena itu, ia harus dikirim belajar
ke dayah. Pertimbangannya bukan saja untuk meneruskan tradisi leluhur
tetapi juga kedudukan dan penghargaan terhadap ulama memang tinggi di
mata masyarakat Aceh.
Selama delapan tahun lamanya Hasbi meudagang
(nyantri) dari satu dayah ke dayah yang lain. Pada tahu 1912, ia
dikirim meudagang ke dayah Tengku Chik Piyeung yang nama dirinya
Abdullah untuk belajar bahasa Arab, khususnya nahwu dan sharaf.
Setelah setahun belajar di situ, ia pindah belajar ke dayah Tengku Chik
di Bluk Bayu. Setahun kemudian, ia pindah ke dayah Tengku Chik di Blang
Kabu Geudong. Dari Blang Kabu, ia pindah ke dayah Tengku Chik di Blang
Manyak Samakurok dan belajar di situ selama satu tahun. Semua dayah yang
disebutkan itu terletak di bekas wilayah kerajaan Pasai tempo dulu.
Setelah pengetahuan dasar dirasa cukup, pada tahun 1916 ia pergi
merantau atau meudagang ke dayah Tengku Chik di Tanjungan Barat
yang bernama Idris, di Samalanga. Dayah ini adalah salah satu dayah
terbesar dan terkemuka di Aceh Utara yang mengkhususkan diri dalam
pelajaran ilmu fiqh. Dua tahun ia meudagang di dayah ini, setelah itu ia pindah meudagang
ke dayah Tengku Chik di Krueng Kale, yang bernama Hasan. Selama dua
tahun ia meudagang di Krueng Kale di Aceh Rayeuk untuk belajar hadits
dan memperdalam fiqh. Pada tahun 1920, dari Tengku Chik Hasan Krueng
Kale, ia memperoleh syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah
cukup dan berhak membuka dayah sendiri. Ia pulang ke Lhokseumawe dengan
perasaan puas.
Hasbi
yang dikaruniai Allah berotak cerdas dan gemar membaca, merasa ilmu
yang diperolehnya di dayah-dayah itu hanyalah sebatas sebuah kitab yang
diajarkan. Kitab-kitab itu pun hanya yang bermazhab Syafi’i. Guru hanya
menyimak apakah bacaan atau terjemahannya betul, atau sesekali sang guru
membaca dan para murid mendengar. Proses belajar mengajar dengan metode
anjur kitab itu memang dianut oleh semua dayah atau pesantren di
Indonesia. Metode ini kurang melibatkan anak didik di dalam proses
berpikir sehingga mampu memecahkan masalah-masalah sendiri tanpa harus
menunggu keputusan yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu.
Terpatrilah doktrin taklid.
Kebosanan Hasbi terhadap proses belajar mengajar seperti itu terlihat pada anekdot-anekdot di bawah ini. Ia
lebih banyak membaca sendiri di biliknya, atau di tempat-tempat lain,
dari pada hadir di ruangan belajar bersama. Pernah pula terjadi, ia
masuk ke ruang bukan dengan membawa buku dan kitab, tetapi bahan dan
alat merajut. Ketika guru membaca kitab dan menerjemahkannya kata demi
kata, ia mendengarnya sembari asyik merajut di pojok ruangan. Sikapnya
yang acuh tak acuh dan tidak menyimak pelajaran menimbulkan rasa tak
senang di hati gurunya. Anak cuek ini harus diberi pelajaran. Pada suatu
hari, ketika ia ikut hadir dalam ruangan belajar dan tetap
memperlihatkan sikap tidak serius, secara mendadak gurunya menghujaninya
dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan tentang masalah-masalah yang
sedang atau telah diajarkan ketika ia tidak hadir. Ia tidak kaget dan
tidak gelagapan. Ia menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dalam
kitab-kitab yang belum diajarkan. Kini giliran gurunya yang terkejut.
Sejak itu, dia dibiarkan belajar dengan caranya sendiri, bahkan
dijadikan guru muda pada tingkat yang lebih rendah jika gurunya
berhalangan.
Semangat
Hasbi membaca tidak terbatas pada buku yang ditulis dalam bahasa atau
aksara Arab saja. Ia juga membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa
Latin dan dengan bahasa selain Arab dan Melayu, khususnya Belanda.
Aksara Latin, apalagi bahasa-bahasa Belanda tidak diajarkan di dayah, karena anggapan aksara dan bahasa itu milik kaphee. Pelajaran agama tidak boleh ditulis dalam aksara kaphee biarpun Nabi memerintahkan kaum muslimin belajar sampai ke negeri Cina. Apa akal? Satu waktu ketika ia masih meudagang di dayah
Tengku Chik di Tanjungan Barat, pulang berlibur ke Lhokseumawe ia
menjumpai sahabatnya yang bernama Tengku Muhammad. Dari sahabatnya
inilah ia belajar dan mengenal aksara Latin. Kini ia sudah punya modal
untuk mempelajari bahasa Belanda dari seorang Belanda yang minta diajari
bahasa Arab.
Sepulangnya
dari Krueng Kale, Hasbi berjumpa dengan Syaikh Muhammad Ibn Salim
al-Kalali, seorang yang termasuk kelompok Kaum Pembaru Pemikiran Islam
di Indonesia, yang bermukim di Lhokseumawe. Melalui Syaikh al-Kalali ia
mendapat kesempatan membaca kitab-kitab yang ditulis oleh
pelopor-pelopor Kaum Pembaru Pemikiran Islam. Melalui Syaikh al-Kalali
pula ia berkesempatan membaca majalah-majalah yang menyuarakan
suara-suara pembaruan yang diterbitkan di Singapura, Pulau Pinang, dan
Padang. Dengan Syaikh al-Kalali ia mendiskusikan konsep dan tujuan
pembaruan pemikiran Islam.
Hasbi
yang cerdas dan dinamis serta telah bersentuhan dengan pemikiran kaum
pembaru, dilihat oleh Syaikh al-Kalali mempunyai potensi untuk
dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaruan Islam
di Aceh. Untuk keperluan itu ia menganjurkan Hasbi pergi ke Surabaya
belajar pada Perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh Pergerakan al-Irsyad wal Ishlah
yang didirikan oleh Syaikh Ahmad as-Surkati. Pada tahun 1926, degan
diantar oleh Syaikh al-Kalali, Hasbi berangkat ke Surabaya. Setelah
dites, ia dapat diterima di jenjang takhashshush. Di jenjang ini
Hasbi memusatkan perhatiannya belajar bahasa Arab yang memang mendapat
kedudukan istimewa dalam kurikulum perguruan al-Irsyad.
Percepatan penguasaan bahasa Arabnya didukung pula oleh pergaulannya
dengan orang-orang Arab di Surabaya. Ia bermain bola bersama mereka. Ia
juga mondok di rumah seorang Arab. Satu setengah tahun Hasbi belajar di
al-Irsyad dengan perolehan kemahiran berbahasa Arab dan kemantapan
berada di barisan Kaum Pembaru untuk mengibarkan panji-panji ishlah
serta semangat kebangsaan Indonesia yang memang telah bersemi dalam
dirinya sejak ia meudagang di Tanjungan Barat, di Samalanga. Pada waktu
itu rakyat Samalanga yang telah memperlihatkan kepahlawanan melawan
penjajah, pada tahun 1916, mendirikan cabang SI (Sekita Islam).
Perguruan
al-Irsyad jenjang takhashshush adalah pendidikan formal terakhir yang
ditempuh Hasbi. Ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai belajar
di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dengan ilmu melalui
belajar sendiri, otodidak. Beliau adalah guru terbaik. Berkat
minat bacanya yang besar, semangat belajar dan menulisnya yang tinggi
Hasbi menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula
artikel. Ia memperoleh dua gelar Doktor H.C, satu dari UNISBA (1975),
dan satu dari IAIN Sunan Kalijaga (1975), dan menduduki jenjang
fungsional pada tingkat Guru Besar pada tahun 1960.
6. Karya Intelektual
Aktivitas Hasbi menulis telah dimulai sejak awal tahun 1930-an. Karya tulisnya yang pertama adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet. Pada tahun 1933 di samping menduduki Jabatan wakil redaktur, Hasbi juga menulis artikel dalam Soeara Atjeh. Pada tahun 1937, ia memimpin dan sekaligus menjadi penulis semua artikel majalah bulanan al-Ahkam, majalah Fiqh Islami, yang diterbitkan oleh Oesaha Penoentoet di Kutaraja.
Sejak tahun 1939 ia menjadi penulis tetap pada majalah bulanan Pedoman Islam
yang diterbitkan di Medan. Dalam majalah ini ia mengisi dua rubrik.
Dalam menulis rubrik ”Ilmoe Moeshtalah Ahli Hadiets” yang sejak nomor ke
delapan berganti judul dengan ”Sejarah Hadits-Hadits Tasyri’”, ia
menggunakan nama samaran Ibnoel Hoesein. Untuk rubrik ”Dewan Tafsir” ia
menggunakan nama samaran Aboe Zoeharah.
Mulai tahun 1940, ia menulis untuk majalah-majalah Pandji Islam yang diterbitkan di Medan dan Aliran Moeda yang sejak penerbitannya nomor empat berganti nama menjadi Lasjkar Islam diterbitkan di Bandung. Dalam Pandji Islam,
ia mengisi rubrik ”Iman dan Islam” dan dalam Aliran Moeda/Lasjkar Islam
ia memelihara rubrik ”Pandoe Islam” dengan judul ”Moeda Pahlawan Empat
Poeloeh”.
Di samping menulis rubrik tetap, ia juga menulis artikel-artikel lain dalam ketiga majalah tersebut. Satu diantaranya adalah polemiknya dengan IR. Soekarno tentang pembaruan pemikiran Islam yang termuat dalam Pandji Islam. Menanggapi pemikiran Soekarno, Hasbi menulis artikel ”Memoedakan Pengertian Islam” yang dimuat dalam Pandji Islam dan ”Mengoepas Faham Soekarno tentang Memoedakan Pengertian Islam” yang dimuat dalam Lasjkar Islam.
Ketika ditawan di Lembah Burnitelong (1946-1947), Hasbi yang telah tinggal tulang berselaput kulit menyusun naskah Pedoman Dzikir dan Doa.
Dapat diduga, dalam keadaan teraniaya itu ia lebih mendekatkan diri
dengan berdzikir dan berdoa. Dalam kamp tawanan di Burnitelong ini pula
ia menulis naskah kasar Al-Islam yang diterbitkan pada tahun 1957
setebal 1404 halaman dalam dua jilid. Karena alam sekeliling yang
dilihatnya adalah pohon rambung (karet), maka pohon rambunglah yang
dijadikannya sebagai ibarat jika agama ditamsilkan sebagai sebatang
pohon. Buku-buku referensi yang diperlukannya untuk menulis al-Islam
diperolehnya dari Tengku Abdul Djalil, seorang murid yang pernah
direkomendasikannya untuk belajar ke perguruan al-Irsyad di Surabaya.
Buku al-Islam ini sampai tahun 1977 telah lima kali dicetak ulang.
Selepas
dari tawanan di Burnitelong dan Takengon, selama berdiam di
Lhokseumawe, masih dalam status tahanan kota, ia menulis naskah Pedoman Shalat. Dorongan menulis naskah ini datang karena di balee
yang didirikannya di Mon Geudong, ia memusatkan perhatian pada
mengajari jamaahnya bagaimana cara bershalat seperti yang dituntun oleh
Nabi. Pedoman Shalat setebal 590 halaman pada tahun 1984 telah
dicetak ulang sebanyak tiga belas kali oleh penerbit Bulan Bintang yang
sebelumnya telah pula dicetak dua kali oleh Penerbit Islamiyah Medan.
Setelah berdiam diri di Yogyakarta, sejak tahun 1951, karya tulis Hasbi sangat meningkat. Pada tahun 1961 ia merampungkan Tafsir an-Nur (30 jilid), tahun 1968 menyelesaikan naskah Mutiara Hadits
(8 jilid, baru terbit 6 jilid). Di samping menulis buku-buku, baik yang
berjilid banyak maupun berjilid tunggal ia masih juga menulis
artikel-artikel yang dimuat dalam majalah-majalah dan Surat Kabar,
antara lain: Hikmah, Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Aldjami’ah, dan Sinar Darussalam.
Sejak tahun 1963 Hasbi ditunjuk pula sebagai Wakil Ketua Lembaga
Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci al-Quran, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama No.26 tahun 1963.
Hasbi
telah menulis 72 buku dan 50 artikel dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-Quran Hasbi telah menulis 6 judul buku, 8
judul buku dalam bidang Hadits, 36 judul dalam bidang Fiqh, 5 judul
dalam bidang Tauhid/Kalam, dan 17 judul dalam bidang Umum (General).
7. Pekerjaaan
Hasbi
yang diharapkan ayahnya mengajar di dayah lebih suka mendirikan
madrasah. Pada tahun 1924, sebelum berangkat ke Surabaya, ia mendirikan
madrasah di Buloh Beurenghang. Madrasah yang mendapat dukungan Teuku
Raja Itam, Uleebalang disitu, hanya berusia dua tahun. Dia
bubar karena Hasbi berangkat ke Surabaya untuk belajar di al-Irsyad.
Sekembalinya dari Surabaya, pada tahun 1928, Hasbi bersama Syaikh
al-Kalali mendirikan madrasah di Lhokseumawe yang diberi nama al-Irsyad
pula. Secara administratif organisatoris, sekolah ini tidak ada
hubungannya dengan pergerakan al-Irsyad wal Ishlah. Namun secara
idealis, sekolah ini mengikuti rencana pelajaran dan proses belajar
mengajar yang dikembangkan oleh perguruan al-Irsyad di Jawa. Ketika
Hasbi mendirikan perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe, Abdullah TB
memprakarsai pembangunan dayah di Uteun Bayi Lhokseumawe dengan
mendatangkan Tengku Muhammad Daud Beureueh ke situ. Dimulailah kampanye,
bahwa memasuki perguruan al-Irsyad akan menjadi sesat seperti Hasbi.
Model sekolah yang memakai bangku dan papan tulis adalah model kafir.
Tidak boleh ditiru. Apalagi duduk berbanjar pada bangku-bangku sekolah
berakibat ada yang duduk di depan dan ada yang duduk di belakang. Ketika
diberikan pelajaran membaca al-Quran akan menimbulkan pelanggaran adab
waktu giliran membaca jatuh pada murid yang duduk di belakang. Orang
dilarang membelakangi al-Quran, kilah mereka.
Tengku
Muhammad Daud Beureueh tampaknya seorang spesialis dalam membendung
laju pendidikan model sekolah, sebelum ia sendiri nanti menjadi pendiri
dan mengajar di sekolah Jam’iyatud Diniyah di Blang Paseh pada tahun
1929. Ketika pada tahun 1924 di Tapak Tuan dibuka sekolah Thawalib
sebagai cabang Thawalib yang berpusat di Sumatera Barat, ia juga
didatangkan kesana untuk mengajar di dayah.
Kampanye
Abdullah TB berhasil membuat sekolah al-Irsyad Hasbi kehabisan murid.
Hasbi tidak bereaksi, untuk menghindari konflik fisik. Ia menutup
sekolahnya di Lhokseumawe dan pindah ke Krueng Mane, berjarak ± 20 km ke
arah Barat Lhokseumawe. Dengan mendapat bantuan Teuku Ubit, saudara
Teuku Luthan, Uleebalang Krueng Mane, Hasbi mendirikan Madrasah al-Huda
di Krueng Mane. Ia memilih nama al-Huda, tidak lagi al-Irsyad, untuk
menghilangkan hujjah Abdullah TB yang dalam kampanyenya dahulu juga
menyerempet-nyerempet ke pergerakan al-Irsyad. Akibat persaingan kakak
beradik Teuku Luthan dengan Teuku Ubit, maka Sekolah al-Huda di Krueng
Mane tidak mendapat perkenan dari penguasa. Al-Huda harus ditutup
terkena larangan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, berdasarkan
Ordonansi Guru tahun 1905 (stbl. 1905 No.550) yang diperbaharui pada
tahun 1925. Hasbi kembali ke Lhokseumawe. Aktivitasnya beralih sebentar
dari sekolah ke politik, yang berakibat ia harus keluar dari Lhokseumawe
dan pindah ke Kutaraja. Kepindahan Hasbi ke Kutaraja juga akibat reaksi
terhadap bukunya Penoetop Moeloet.
Awal
karir Hasbi di Kutaraja kembali menjadi guru. Ia memulainya dengan
mengajar pada kursus-kursus yang dikelola oleh Jong Islameten Bond
Daerah Aceh (JIBDA) dan pada sekolah HIS serta kemudian MULO
Muhammadiyah. Pada waktu itu, di Aceh sudah marak didirikan madrasah dan
sekolah swasta yang pada tahun 1935/1936 telah berdiri sejumlah
sembilan puluh satu madrasah.
Ada
dua masalah pokok yang dihadapi oleh madrasah-madrasah pada tahun 1936,
dimana Hasbi terlibat di dalamnya. Pertama, reaksi dari kaum
tradisionalis yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Amin Jumphoh Pidie yang
mengharamkan belajar ilmu pengetahuan selain ilmu pengetahuan agama
dalam arti sempit. Mereka mengharamkan pula guru laki-laki mengajari
murid perempuan. Kedua, masalah penyeragaman kurikulum dan menyatubahasakan para guru.
Masalah
boleh tidaknya diajarkan ilmu pengetahuan umum seperti: berhitung,
sejarah, ilmu bumi, ilmu hayat dan sebagainya, serta laki-laki mengajari
perempuan cukup ramai diperbincangkan, bahkan dalam situasi yang
tegang. Pihak yang anti menuduh pihak yang membolehkannya telah berbuat
haram. Sebaliknya, pihak yang pro mengatakan orang yang melarangnya
telah membuat kaum muslimin menjadi terbelakang. Untuk mengatasi
perbedaan pendapat ini, dan guna mendapatkan kebenaran, Teuku Nyak Arief
menyelenggarakan sebuah pertemuan di rumahnya di Kedah Singel, pada
hari Jumat 16 Rajab 1355/2 Oktober 1936. Orang yang diundang menghadiri
pertemuan itu mewakili tiga golongan, yaitu: uleebalang, ulama, dan
orang patut-patut. Hasbi diundang atas nama ulama.
Dalam pertemuan itu dibahas tiga masalah pokok yang sedang menjadi isu hangat yaitu :
1. Bolehkah ilmu seperti ilmu Jugrafiyah (ilmu bumi), kimia, ilmu kesehatan dan segala ilmu yang menjadi pokok kemajuan dipelajari oleh umat Islam?
2. Bolehkah mata pelajaran itu diajarkan pada madrasah (sekolah agama)?
3. Bolehkah perempuan berguru pada laki-laki di tempat-tempat yang dirasa aman dan terpelihara?
Setelah
terjadi perdebatan sengit yang masing-masing pihak berusaha meyakinkan
pihak lainnya, pada akhirnya, pihak yang menantang tidak bisa
mengingkari kenyataan sejarah bahwa ilmu pengetahuan umum dipelajari
oleh kaum Muslimin pada masa Dinasti Abbasiyah dahulu. Itulah pula yang
menjadi sebab kaum Muslimin mampu menjadi pemegang obor kebudayaan Abad
Pertengahan sejarah dunia. Pada akhirnya, pertemuan menyimpulkan dan
mengambil keputusan :
1. Agama
Islam tidak melarang mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan
dengan syariat, malah wajib mempelajari bahkan tidak layak
meninggalkannya.
2. Memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah tersebut.
3. Tidak ada halangan dan tidak terlarang menurut syariat, perempuan berguru pada laki-laki.
Teuku Nyak Arief, ketika menutup pertemuan itu, menghimbau agar setelah pertemuan itu tidak lagi terjadi perselisihan paham.
Keputusan
Kedah Singel memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat Aceh. Sejak
itu tidak lagi terdengar cemoohan yang dilontarkan secara terbuka
terhadap pihak yang mendukung diajarkan ilmu pengetahuan umum di
madrasah. Dampaknya, para orang tua tidak lagi segan mengirimkan anak
mereka belajar di madrasah. Abdullah TB yang dahulu berupaya membendung
perkembangan perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe, kini menganjurkan
masyarakat membantu pembangunan madrasah-madrasah. Demikian pula yang
dilakukan oleh Tengku Abdullah Lam U dan Tengku Hamzah Peusangan.
Hasbi
tidak lagi menghadapi tantangan berat dan tidak dikucilkan. Dia mulai
diterima mengajar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh lembaga yang
selain Muhammadiyah. Pada tahun 1937, ia diminta mengajar di Jadam
Montasik, dan pada tahun 1941 mengajar dan membina madrasah Ma’had Imanul Mukhlis atau Ma’had Iskandar Muda (MIM) di Lampaku.
Dengan demikian, Hasbi beroleh kesempatan meluaskan pemikirannya di
kalangan muda tidak hanya terbatas lingkungan anggota atau simpatisan
Muhammadiyah dan orang-orang menempuh pendidikan Barat saja.
Pemikiran
tentang penyeragaman kurikulum dan menyatubahsakan para guru tercetus
dan dibahas ketika belangsung buka puasa bersama di rumah Hasbi pada
bulan Ramadhan 1355/1936 itu juga. Yang hadir dalam berbuka puasa
bersama itu adalah Ismail Ya’kub, ayah Mansur, Tengku Muhammad Asyik,
Nyak Sabi Raden, Nyak Haji, Karim Mu’ti (Ketua Muhammadiyah) dan
R.Suwandi (Kepala Sekolah Taman Siswa). Dari perbincangan dalam buka
puasa bersama itulah lahir keputusan mendirikan Leergang Muhammadiyah.
Ketika sekolah itu masih bernama Leergang, tempat belajarnya di sebuah
rumah berdinding tepas milik ayah Mansyur. Lama belajar dua tahun.
Tujuannya, mendidik calon guru agama yang cakap agar dapat meningkatkan
mutu madrasah dan menyeragamkan rencana pelajaran.
Pada tahun 1939, didirikanlah PERGUISA (Persatuan Guru-Guru Islam
Seluruh Aceh) yang tujuannya diambil alih oleh PUSA ( Persatuan Ulama
Seluruh Aceh).
Leergang
tak lama beralih nama menjadi Darul Mu’allimin. Di situ Hasbi hanya
sebagai seorang guru, ia tampaknya tak puas, maka pada tahun 1940, ia
mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Darul ’Irfan. Tanah dan
bangunan tiga lokal sekolah dibeli dan dibangun dengan uang yang
dikumpulkan dari teman dan bekas murid-muridnya. Sekolah itu bubar pada
masa pendudukan Jepang yang pahit itu.
Pada
tahun 1948, Bupati Aceh Utara meminta Hasbi menjadi guru dan memimpin
Sekolah Menengah Islam (SMI) yang didirikan di Lhokseumawe. Di antara
guru yang mengajar pada madrasah ini ada juga orang-orang yang mengungsi
dari perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur yang dikenal dengan sebutan
Medan Area.
Lebih
setahun Hasbi setelah kembali dari menghadiri KMI (Kongres Muslimin
Indonesia) XV yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember
1949. Hasbi mendapat tawaran dari Menteri Agama, KH. Wahid Hasjim,
untuk menjadi tenaga pengajar pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN).
Didorong
oleh semangat pengabdian yang lebih besar dari pada bayangan kesulitan
hidup yang harus dihadapinya nanti di Yogyakarta, dan setelah
dirundingkan dengan anggota keluarganya, dengan membulatkan niat ia
menerima tawaran ini. Dengan membawa serta anak dan isterinya ia tiba di
Yogyakarta dalam bulan Januari 1951, delapan bulan sebelum PTAIN
diresmikan.
Hasbi
meniti jenjang kepangkatan dalam tugas-tugasnya sebagai guru di PTAIN
setapak demi setapak. Dimulai dari tenaga pengajar di Sekolah Persiapan,
meningkat ke jabatan direkturnya. Setelah itu, ia dipercaya memelihara
mata kuliah Hadits, yang terbukti ia mampu melaksanakannya. Akhirnya
pada tahun 1960 ia dipromosikan menjadi Guru Besar.
Bersamaan
dengan peralihan PTAIN ke IAIN, Hasbi diangkat menjadi Dekan Fakultas
Syari’ah berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.35 Tahun 1960. Jabatan
ini dipangkunya selama dua belas tahun sampai ia pensiun pada tahun
1972. Sejak September 1960 sampai 12 Desember 1962, ia merangkap jabatan
sebagai Dekan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh yang dibuka waktu itu.
Setelah
Hasbi melepaskan jabatan Dekan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh, antara
tahun 1963 sampai 1966, ia merangkap pula jabatan Pembantu Rektor III di
samping Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Yogyakarta.
Di
samping merangkap jabatan di IAIN, Hasbi juga mengajar dan memangku
jabatan struktural pada Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Islam Swasta.
Sejak tahun 1964 ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975, ia mengajar dan
menjabat Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sulthan Agung
(Unissula) di Semarang. Antara tahun 1961 sampai tahun 1971 dia menjabat
Rektor Universitas Al-Irsyad Surakarta, di samping pernah pula menjabat
Rektor Universitas Cokroaminoto
yang bermula dari Akademi Agama Islam (AAI) di Surakarta. Nama Hasbi
dipasang pula sebagai pengajar Siyasah Syari’ah di IAIN Wali Songo
Semarang, di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Muslimin
Indonesia (UMI) di Ujung Pandang. Setelah itu, Hasbi juga menjabat
Ketua Lembaga Fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan Pemimpin Post Graduate
Course (PGC) dalam Ilmu Fiqh bagi Dosen IAIN se-Indonesia. Ia juga Ketua
Lembaga Fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan Anggota Majelis Ifta’ wat Tarjih DPP Al-Irsyad.
8. Perjuangan Di Bidang Politik
Langkah
awal yang diambil Hasbi dalam perjuangan politik adalah menggabungkan
diri dan mengambil peran aktif dalam organisasi ”Islam Menjadi Satoe”,
yang didirikan oleh Syaikh al-Kalali di Lhokseumawe pada tahun 1920,
tepat pada waktu pemimpin-pemimpin SI di Aceh ditangkap dan dibuang ke
luar Aceh, dan Hasbi memperoleh syahadah dari Krueng Kale.
Organisasi
ini tidak berusia panjang. Aktivitasnya yang jelas, kecuali mendirikan
sekolah yang bernama al-Irsyad setelah Hasbi pulang dari Surabaya, tidak
dapat dilacak karena tidak diketemukan dokumen yang merekamnya.
Pada
tahun 1931, Hasbi dengan beberapa orang temannya, mendirikan cabang
Jong Islamieten Bond (JIB) di Lhokseumawe, dan ia menjabat sebagai
ketuanya. JIB yang lahir pada tahun 1925 adalah pecahan dari Jong Java,
karena mereka tidak sepakat dengan Jong Java yang netral terhadap
masalah agama. Di bawah bimbingan Haji Agus Salim, JIB berhasil menempa
tokoh-tokoh pergerakan Muslim yang berwatak dan mempunyai integritas.
Dengan
bergerak dalam JIB, organisasi kepemudaan yang bersemangat kebangsaan,
gerak gerik Hasbi mulai diawasi oleh aparat pemerintah kolonial Hindia
Belanda, termasuk dengan siapa ia bergaul. Ketika mengadakan pertemuan
dengan Cut Seuman, Ketua Partai Muslimin Indonesia cabang Medan, yang
datang berkunjung ke Lhokseumawe pada tanggal 23 Januari 1933, tak urung
peristiwa ini menjadi bahan laporan politik polisional. Sejak itu,
Hasbi menjadi orang yang ”tidak disukai” berada di Lhokseumawe. Ia harus
keluar dari Lhokseumawe. Sri Maharaja Mangkubumi yang menghendaki agar
Hasbi menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Qadli Chik, tidak juga
mampu mempertahankan agar Hasbi tidak harus keluar dari Lhokseumawe.
Maka pada tahun 1933 itu juga, Hasbi meninggalkan kampung halamannya
pindah ke Kutaraja.
Kepindahan
Hasbi ke Kutaraja, justru memberi peluang lebih luas baginya untuk
bergerak. Kutaraja adalah ibukota Keresidenan dan bekas pusat kerajaan
Aceh tempo dulu. Setibanya di Kutaraja, Hasbi segera menggabungkan diri
dan menjadi pengurus organisasi Nadil Ishlahil Islam (Kelompok Pembaruan Islam) yang didirikan di Kutaraja pada tahun 1932 dan diketuai oleh T.M. Usman, redaktur Soeara Atjeh.
Pada waktu Hasbi menggabungkan diri ke dalam organisasi ini, telah ada
lima puluh orang yang menjadi anggotanya. Dalam rapat umum yang
diselenggarakan oleh organisasi ini, pada tanggal 19 Maret 1933
dipermaklumatkan bahwa Soeara Atjeh menjadi organ Nadil Ishlahil Islami
dan Hasbi ditunjuk sebagai wakil redakturnya. Dalam rapat umum itu
telah pula memberi sambutan: Teuku Nyak Arief, Tengku Syaikh Ibrahim Lam
Nga (Jadam Montasik), ’Abdullah Raini (JIB), ’Abdullah Manaf
(Muhammadiyah) dan Raden Soegondo (Taman Siswa). Semua penyambut ini
menyatakan bersimpati dan mendukung perkumpulan yang baru lahir itu.
Sejak pindah ke Kutaraja, di samping menggabungkan diri dengan Nadil Ishlahil Islami,
Hasbi juga mendaftarkan diri menjadi anggota Muhammadiyah. Pada tahun
1938 ia menduduki jabatan ketua Cabang Kutaraja, dan pada tahun
1943-1946 ia menduduki jabatan Konsul (Ketua Majelis Wilayah)
Muhammadiyah Daerah Aceh. Orang-orang yang bergabung dalam Persatoean
Oelama Seloeroeh Atjeh (PUSA), yang didirikan pada tahun 1939, melihat
Muhammadiyah sebagai saingan.
Sikap
persaingan antara PUSA dan Muhammadiyah membawa akibat tersendiri bagi
Hasbi. Antara ia dan Tengku Muhammad Daud Beureueh timbul suasana
ketidakserasian, yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1928,
sekembalinya dari Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang, Hasbi menjabat
Konsul Muhammadiyah Daerah Aceh dan Tengku Beureueh menduduki jabatan
Ketua PUSA.
Posisi
dan peran yang dimainkan Hasbi pada masa pendudukan Jepang jauh berbeda
dari masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, ia adalah
seorang ulama independen, berdakwah di tengah-tengah masyarakat dan
mengajar di sekolah-sekolah swasta. Sedangkan pada masa pendudukan
Jepang, ia menjadi salah seorang yang menduduki jabatan dalam
pemerintahan bala tentara Jepang hal ini terjadi berkaitan dengan sikap
politik Jepang terhadap ulama yang berbeda dengan sikap politik
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda memperlakukan ulama sebagai
musuh yang harus ditundukkan dengan kekuatan senjata dan sama sekali
tidak ada kompromi. Sementara Jepang, di samping merasa golongan
penguasa anak negeri yang pernah mengecap kenikmatan dari Belanda tidak
mau bersetia kepadanya, sadar pula bahwa pengaruh ulama di kalangan
masyarakat muslim Indonesia jauh lebih besar dari pada pengaruh penguasa
anak negeri. Jepang hendak memanfaatkan pengaruh ulama ini untuk
kepentingannya sendiri.
Di
Aceh, Jepang bahkan dijemput oleh pemuka-pemuka PUSA. Diperkirakan, dua
minggu sebelum pecah Perang Pasifik, pemimpin-pemimpin PUSA telah
memutuskan untuk bekerjasama dengan Jepang guna mengusir Belanda. Jepang sendiri memang telah mempersiapkan jalan rata untuk masuk ke Aceh, dengan membentuk gerakan F. M. Joenoes Djamil, dalam naskah yang ditulis pada tahun 1364/1944 yang tidak diterbitkan, menceriterakan sikap PUSA menyambut Jepang.)
Hasbi
bukan anggota PUSA, tidak pula Gerakan F. Ia adalah anggota
Muhammadiyah, karena itu dia sama sekali tidak punya andil dalam
menerima kedatangan Jepang di Aceh. Akan tetapi apa pula alasan bagi
Jepang dia diangkat menjadi Zyonin Iin (anggota harian) Syu Kyo Hoin
(Mahkamah Syar’iyah), Wakil Ketua Maibkatra (Majelis Agama Islam untuk
Bantuan Asia Timur Raya) yang didirikan pada bulan Januari 1943, anggota
Aceh Cuo Sangi Koi, anggota Sumatera Cou Sangi In dan
anggota perutusan untuk menghadiri sidang para ulama se-Sumatera dan
Malaya di Shonanto (Singapura) bersama-sama dengan Muhammad Daud
Beureueh, Ketua Umum Pengurus Besar PUSA. Menurut Piekaar, pertimbangan
Jepang mengangkat Hasbi adalah karena ia mempunyai pengaruh besar di
kalangan masyarakat Aceh. Piekaar juga mengatakan bahwa Jepang memaksa
Hasbi duduk di Maibkatra.
Demikianlah
posisi yang diduduki Hasbi dalam masa pendudukan Jepang. Hasbi yang
tidak punya jasa apa-apa terhadap penerimaan pendaratan Jepang di Aceh
didudukkan sejajar dengan orang-orang PUSA. Hal ini memberi akibat
tersendiri bagi penderitaan Hasbi. Akan tetapi dalam satu segi, sikap
Jepang yang mensejajarkan Hasbi dengan orng-orang PUSA telah membuka
kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal lebih dekat yang
melahirkan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat walaupun
berbeda. Kesenjangan antara Muhammadiyah dan PUSA sejak itu
tereliminasikan. Keduanya mendukung Majelis Syura Muslimin Indonesia.
Perjuangan
Hasbi pada awal kemerdekaan mengalami nasib yang mengenaskan. Selama
dua tahun lebih sejak bulan Maret 1946 dia disekap oleh apa yang
dinamakan ”Gerakan Revolusi Sosial” yang dimotori oleh orang PUSA di
Aceh. Satu tahun lebih ia mendekam di Lembah Burnitelong dan Takengon,
setelah beberapa hari dikurung di Tangse dan selama satu tahun lebih
pula berstatus tahanan kota. Hasbi memperoleh status tahanan kota berkat
desakan dan permintaan Muhammadiyah dan pemerintah pusat. A.R. Sutan
Mansur, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang pernah membuka bengkel
sepeda di Lhokseumawe, khusus datang ke Aceh untuk membicarakan soal
Hasbi dengan tokoh-tokoh gerakan revolusi yang telah menduduki
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan daerah Aceh. Berikutnya
datang pula telegram dari Wakil Presiden Muhammad Hatta yang meminta
agar Hasbi dibebaskan.
Atas
desakan Muhammadiyah dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, akhirnya Hasbi
diizinkan pulang ke Lhokseumawe pada pertengahan tahun 1947. Untuk
sementara ia masih berstatus tahanan kota, namun diizinkan mengajar
bahkan menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam (SMI) di Lhokseumawe.
Status tahanan kotanya dicabut pada tanggal 28 Februari 1948 dengan
surat yang ditandatangani oleh Wakil Residen Aceh, Muhammad Amin.
Selepas
dari tahanan dan dinyatakan bebas, Hasbi kembali aktif bergerak. Ia
melupakan semua pahit getir yang diderita masa lalu. Alat perjuangan
yang digunakannya adalah Majelis Syura Muslimin Indonesia. Dia menjabat
sebagai Ketua Cabang Kabupaten Aceh Utara.
Pada
penghujung tahun 1949, Hasbi yang mewakili Muhammadiyah bersama Ali
Balwi yang mewakili PUSA, atas nama Masyumi berangkat ke Yogyakarta
menghadiri Kongres Muslimin Indonesia (KMI) XV. Dalam KMI ini Hasbi
menyampaikan prasaran yang berjudul ”Pedoman Perdjuangan Umat Islam
mengenai Soal Kenegaraan”.
Di waktu sedang berada di Yogyakarta menghadiri KMI XV itu, Hasbi diperkenalkan kepada Kiai Wahid Hasyim yang menjadi Menteri
Agama dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia
Pendirian PTAIN oleh Haji Abu Bakar Aceh, seorang pegawai tinggi pada
Kementerian Agama. Selesai Kongres, Hasbi pulang kembali ke Lhokseumawe.
Kembali pada pekerjaannya mengajar dan memimpin SMI di samping
meneruskan kegiatan baleenya di Mon Geudong. Ia mendirikan Cabang
Persatuan Islam (Persis) di Lhokseumawe bersama-sama anggota lainnya.
Rupanya ketika ia mengahadiri KMI XV itu telah dihubungi oleh
pemimpin-pemimpin Persis agar bersedia mendirikan cabang di Aceh yang
sampai saat itu belum ada sebuah pun cabangnya di sana.
Dalam
pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal 29 September untuk DPR
dan 15 Desember 1955 untuk Konstituante, Hasbi terpilih sebagai anggota
Konstituante mewakili Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia yang
pelantikannya berlangsung pada tanggal 10 November 1956. Oleh fraksinya
ia didudukkan dalam Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Dalam masa
kegiatannya di Konstituante yang berumur satu tahun sembilan bulan itu,
yang dibubarkan berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hasbi
pernah tiga kali tampil dalam sidang-sidang pleno untuk menyampaikan
pendapat fraksinya. Penampilannya yang pertama terjadi pada tanggal 11
Juni 1957, dalam acara Pemandangan Umum tentang Sistematika
Undang-Undang Dasar. Yang kedua pada tanggal 5 Februari 1958 dalam
membahas tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dan yang ketiga pada tanggal 26
Agustus dalam tahun yang sama ketika membahas tentang Asas-Asas Dasar
Negara.
Masih
dalam kedudukannya sebagai anggota Konstituante, pada akhir tahun 1957,
Hasbi pergi ke Pakistan bersama-sama dengan HAMKA, Anwar Musaddad, dan
Muhammad Rasyidi yang pada waktu itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk
Pakistan, guna menghadiri The International Islamic Colloquium
yang diselenggarakan oleh University of the Punjab yang berlangsung di
Lahore pada tanggal 29 Desember 1957 sampai dengan 8 Januari 1958. Dalam
Colloquium ini, Hasbi menyampaikan makalah yang berjudul ”Sikap Islam
terhadap Ilmu Pengetahuan (The Attitude of Islam Towards Knowledge
(’Ilm)”. Hasbi mempresentasikannya dalam bahasa Arab. Inilah kunjungan Hasbi ke luar negeri yang pertama dan yang terakhir.
Demikian
riwayat perjuangan Hasbi di bidang politik. Dari sini kelihatan bahwa
Hasbi konsisten sebagai perintis tradisi Kaum Pembaru Indonesia, bukan
hanya di Aceh. Sikap ke-Indonesia-annya telah mulai sejak ia masih
berdiam di Aceh mendirikan cabang JIB di Lhokseumawe. Ia tidak memasuki
PUSA, mungkin bukan hanya karena ia sudah memilih Muhammadiyah, tetapi
juga karena dia melihat PUSA berbau lokal Aceh. Dalam mempertahankan
pendirian, Hasbi tidak kuatir dimusuhi. Ia terus menulis walaupun berada
dalam tahanan.
9. Perjuangan Dalam Bidang Dakwah
Hasbi
telah berdakwah sejak berusia muda. Tema pokok yang dibawanya, selain
menginformasikan tentang Iman, Islam, dan Ihsan, ia juga memesankan
bagaimana pemahaman dan cara beragama yang benar. Setelah ia mengambil
posisi Kaum Pembaru, kritik-kritiknya dilancarkan ke sasaran bid’ah,
syirik, dan khurafat. Ia mengeritik ushalli, talqin, kenduri
kematian, dan yang sebangsanya. Ia mengeritik membaca doa dengan
membakar kemenyan. Ia mengeritik ziarah ke makam wali untuk melepas
nazar atau berdoa meminta sesuatu. Semua kritiknya cukup keras dan
bernada tinggi. Ismail Ya’kub melukiskannya dengan kata: ”Karena
kerasnya suara beliau orang tersentak dari tidurnya”.
Suara
keras Hasbi menimbulkan reaksi yang sama kerasnya pula dari pihak kaum
tradisionalis yang mempertahankan tradisi-tradisi tersebut. Beberapa
kali diadakan tatap muka antara Hasbi dan mereka untuk membahas soal
ini. Namun kedua belah pihak tidak menemukan titik temu. Kontrolir
Lhokseumawe pernah pula menyelenggarakan diskusi soal ini dengan
mengundang Hasbi dan ulama-ulama yang tidak sependapat dengannya, yang
berlangsung di kantornya sendiri. Para ulama, lawan diskusi Hasbi,
datang lengkap dengan membawa kitab-kitab yang cukup banyak. Hasbi
datang dengan tangan kosong. Dalam koceknya hanya ada sebuah buku notes
dan sebatang pensil. Teman-teman pendukungnya merasa khawatir terhadap
sikap Hasbi dan menyarankan agar ia membawa kitab pula. Hasbi menjawab:
”Saya datang bukan untuk membahas kitab, tetapi membahas masalah agama.
Kitab itu hanya sekedar maraji’ (referensi), dan berkat sekedar
doa ayah dan saudara-saudara sekalian, saya telah menyelami isinya.
Kalau perlu saya pinjami dari mereka sebentar, lagi pula, kitab-kitab
itu hanya pendapat seseorang, kita tidak wajib mempercayainya sebagai
suatu kebenaran mutlak”. Diskusi berjalan seru, dan walaupun Hasbi
sering membetulkan keliru baca lawan diskusinya, namun diskusi tersebut
berakhir tanpa konklusi.
Entah karena kehabisan hujjah
(argumen) ataukah karena sudah menjadi kebiasaan di kalangan kaum
Muslimin sejak dulu yang segera mencap menyeleweng, murtad, kafir, telah
tercekoki pemikiran orientalis yang ingin merusak Islam dan sebagainya,
terhadap orang yang tidak sepaham dengannya. Ibnu Taimiyah dan Abduh
pernah mendapat cap penyeleweng, perusak yang merusak Islam. Hasbi juga
dituduh sesat yang menyesatkan, Wahhabi, dan bahkan ada pula yang
mengatakan bahwa ia sudah menjadi kafir. Alasan ia dituduh kafir karena
ia berpakaian pantalon, berdasi, dan memangkas rambut, yang merupakan
pakaian dan kebiasaan kaphee. Cuma yang tidak bisa dimengerti
mengapa ia disebut Wahhabi, padahal Wahhabi juga sangat anti dasi dan
potong rambut. Apakah hanya karena ia anti ziarah kubur untuk bernazar
dan berdoa? Mungkin.
Tentang Hasbi berpakaian cara Barat itu, Ismail Ya’kub menceriterakan:
Pada
tahun 1929 sewaktu saya berkereta api dari Lhoksukon (Aceh Utara) ada
tiga orang pemuda yang duduknya tidak berapa jauh dari tempat duduk
saya. Semua pembicaraannya dalam bahasa Melayu, saya dengar dengan jelas
dan terang. Ketika seorang dari mereka bertiga, yang kulitnya hitam
manis memakai baju kemeja berdasi dengan tidak berpeci membaca ayat ”ta’āwanū ’alal birri wat taqwa, wa lā ta’āwanū ’alal itsmi wal ’udwān,
”saya sangat tertarik, lalu mendekati salah seorang dari mereka,
menanyakan siapa yang membaca ayat itu. Sebab sangat ganjil, menurut
saya, ada orang yang berdasi dan tak berpeci pula dapat membaca dan
menghafal ayat al-Quran. Karena waktu itu, kalau orang mengerti agama,
tidak berdasi tapi berpeci. Sebab dasi dan memotong rambut adalah haram
pada waktu itu dan pakaian kafir. Karena dasi itu tali leher yang
tersebut dalam kitab ”Masailal Muhtadi... sekarang saya menjumpai
sebaliknya lalu saya bertanya dengan berbisik: Siapa membaca ayat tadi.
”Orang itu menjawab ”Tuan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy”. Beliau waktu
itu memimpin perguruan al-Irsyad di Lhokseumawe penggerak dan pembangun
umat.
Sri
Maharaja Mangkubumi, pada tahun 1929, merencanakan penyelenggaraan
sebuah perdebatan besar antara Hasbi dan penentang-penentangnya dalam
upaya meredakan ketegangan. Perdebatan tersebut hendak dilangsungkan di
masjid Mon Geudong seusai shalat Jumat. Penentang Hasbi di bawah
pimpinan Tengku Abdullah Idi Cut yang lebih dikenal dengan sebutan TB
(Timur Barat), dengan didampingi oleh gurunya bernama Tengku Muhammad
Usman Pucok Alue Simpang Ulim. Hasbi bersedia menghadiri diskusi atau
muthala’ah seperti yang dinamakan oleh Sri Maharaja Mangkubumi, tetapi
dengan syarat harus ada penengah. Jika tidak, kata Hasbi, muthala’ah itu
tidak akan ada hasilnya seperti yang sudah-sudah. Yang ada hanya
bersitegang urat leher, menegakkan benang basah. Hasbi mengusulkan
Syaikh Ismail Jambek atau orang yang sekualitas dengannya menjadi
penengah. Oleh karena moderator yang diusulkan Hasbi tidak mampu
didatangkan, maka Hasbi tidak mau hadir. Muthala’ah gagal berlangsung.
Abdullah TB berbicara sendiri dihadapan orang banyak yang datang dari
seluruh pelosok Aceh Utara antara lain, Tengku Abdurrahman Peusangan
yang sengaja datang untuk mendengar muthala’ah itu. Para hadirin
bertepuk tangan ketika Abdullah TB tampil sendirian dengan menuding
Hasbi tidak berani datang karena takut kalah berhujjah dengannya.
Sekembali dari ”tawanan” di Takengon, masih dalam status tahanan kota, Hasbi membangun sebuah dayah yang disebut balee
(balai) di samping rumahnya, di bekas dayah ayahnya dahulu, di Mon
Geudong Lhokseumawe. Di balee ini sehabis shalat Shubuh dan seusai
shalat Maghrib, ia memberikan pelajaran agama dan difokuskan pada cara
beribadah yang benar seperti yang dituntun oleh Nabi. Untuk shalat,
pelajaran diberikan secara teori dan praktek. Untuk keperluan itu jamaah
baleenya diwajibkan datang shalat berjamaah, terlebih lagi untuk
Shubuh, Maghrib, dan Isya’.
Dalam
bulan puasa, dilakukan buka puasa bersama di balee. Anggota jamaah
membawa makanan yang dimakan sendiri, atau dipertukarkan. Bagi yang
membawa lebih, diminta untuk menyuguhkannya kepada yang lain. Buka puasa
bersama itu hanya sekedar minum dan makan-makan ringan, biasanya kanji
rumbi bubur yang dimasak dengan kaldu dan rempah-rempah. Setelah shalat
Maghrib, mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan makanan berat,
lalu kembali lagi untuk shalat Isya’ yang diteruskan dengan tarawih.
Ada pula anggota jamaah yang baru pulang setelah tarawih. Sambil
menunggu shalat Isya’, mereka yang tidak pulang bertanya masalah-masalah
agama. Hasbi
melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat yang terdiri atas empat,
empat rakaat sekali salam dan tiga rakaat witir sekali salam. Semuanya
berjumlah sebelas rakaat. Pada hari-hari libur ia sering mengajak
anggota jamaahnya bersama keluarga mereka berpiknik ke pantai. Pantai
Lhokseumawe khususnya Ujong Blang, memang indah. Pernah pula buka puasa
bersama di pantai. Shalat Maghrib dilakukan di Meunasah yang ada di
dekatnya. Di meunasah itu Hasbi menjadi makmum.
Aktivitas
Hasbi mendirikan balee itu bukan tidak ada reaksi. Orang-orang yang
tidak sepaham dengannya berusaha mencegah orang bergabung ke Balee
Hasbi. Ada orang yang menakut-nakuti jangan dekat-dekat dengan Hasbi
sebab ia seorang bekas ”tawanan politik” yang masih dalam status tahanan
kota. Ada juga yang masih mempermasalahkan soal-soal furu’iyah
tempo dulu. Ada pula yang mengatakan Hasbi membangun jamaah sendiri. Isu
ini memang mengakibatkan balee pengajian Hasbi tidak mendapat jamaah
yang banyak. Namun jamaah yang sedikit itu kemudian menjadi penerus
Hasbi setelah ia berangkat ke Jawa.
10. Penutup
Demikianlah
riwayat hidup Hasbi yang berjuang melalui jalur-jalur dakwah, sekolah,
organisasi, dan tulisan. Ia yang dibesarkan dalam pergulatan, pada
perjalanan hidupnya mendapat juga pengakuan dan penghargaan. Sejak
remaja, masyarakat sekelilingnya mengakui kekayaan ilmu dan
keterampilannya dalam memploh-ploh masalah.
Hasbi yang memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan secara otodidak, menjelang wafatnya memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa
karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman. Yang satu
diperolehnya dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22
Maret 1975, dan yang satu lagi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.
Hasbi
sangat berjasa dalam pembinaan IAIN. Di tangan Hasbi Fakultas Syari’ah
meningkatkan mutunya sehingga dinyatakan sebagai Fakultas Utama dan
penuh disiplin. Hasbi mempunyai keahlian mendalam mengenai ilmu-ilmu
keislaman, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, dan ilmu-ilmu bantu
lainnya. Tulisan-tulisan Hasbi telah menimbulkan pemikiran-pemikiran
yang menghidupkan dan mengembangkan daya ijtihad, menghormati buah pikir
ulama terdahulu, memegang prinsip salaf shalih dan menampakkan
keagungan syariat Islam. Lebih dari seratus buku dan sejumlah artikel
yang beredar ke seluruh pelosok tanah air bahkan sampai di kawasan Asia
Tenggara yang berbahasa Melayu, telah menjadi perangsang utama bagi
gairah masyarakat untuk mempelajari Islam dari penulis Muslim sendiri
melalui bahasa Indonesia. Tulisan-tulisan Hasbi yang mengajak
membandingkan pendapat-pendapat ulama antar mazhab telah mengurangi
secara berangsur-angsur sikap phobi terhadap mazhab yang tidak
dianutnya. Rintisan yang dilakukan oleh Hasbi yang menekankan kepada
kemaslahatan umat, telah menggugah masyarakat akan arti pentingnya fiqh
dalam pembinaan Hukum Nasional sebagai salah satu unsur pembangunan
bangsa. Hasbi adalah orang pertama yang mencetuskan gagasan perlu
dibentuk fiqh yang berkepribadian Indonesia. Dengan begitu ia telah
membangkitkan semangat intelektualisme dalam memahami Islam di kalangan
pemuda Indonesia, yang menjadi modal pula dalam mendidik kader bangsa
serta menumbuhkan tunas pejuang dalam rangka ikut serta mengantarkan
bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Atas jasa-jasanya, pihak IAIN Ar-Raniry telah memberikan dua penghargaan kepada Hasbi.
1. Penghargaan
atas keikutsertaannya membangun IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh. Diterimakan di Darussalam Banda Aceh pada Hari Pendidikan Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, tanggal 2 September 1969.
2. Penghargaan
selaku Pembina Utama IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Diterimakan kepada Nourouzzaman Shiddieqy di Gedung DPRD Propinsi Daerah
Istimewa Aceh pada tanggal 3 Oktober 1979.
Hasbi
wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta pada hari Selasa, tanggal 9 Desember
1975 pukul 17.45, tepat sepekan mendahului Prof.Dr.Hazairin, penggagas
Hukum Waris Islam di Indonesia. Sebelum dibawa ke rumah sakit tempat ia
menghembuskan nafas terakhir, ia sedang menjalani karantina untuk naik
haji bersama isteri atas undangan Menteri Agama R.I.
Hasbi
dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta
Selatan. Ia wafat meninggalkan seorang isteri, empat orang anak (dua
laki-laki dan dua perempuan) dan tujuh belas orang cucu.
Sumber
http://muhajir-murlanalashri.blogspot.co.id/2011/07/biografi-profdrtmuhammad-hasbi-ash.html