Keluasan dan kekuatan pengetahuan agamanya, membuat tak
sedikit orang percaya pada kealiman sosok Muhammad Yunus Anis yang kerap
disapa pendek, Yunus Anis. Tak terkecuali kalangan tentara. Bukti nyata
besarnya kepercayaan yang diberikan TNI (Tentara Nasional Indonesia),
maka pada tahun 1945 TNI menobatkan Yunus Anis selaku Kepala Pusroh
Angkatan Darat Republik Indoenesia, atau biasa dikenal Imam Tentara.
Selama mengemban tugas itu, Yunus Anis banyak memberikan pembinaan
mental terhadap para tentara. Putra sulung sembilan bersaudara dari
pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3
Mei 1903. Persis seperti pengakuan yang tertuang dalam Surat
Kekancingan dari Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat tahun 1961, Yunus Anis tercatat sebagai keturunan ke-18 dari
Raja Brawijaya V. Dengan demikian, berhak pula menyandang gelar Raden.
Masa kecil Yunus Anis banyak mendapat tempaan teladan dari
ayahnya, yang tak lain kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan. Bahkan nama
sang ayah tercatat dalam recht person Muhammadiyah. Membaca Al-Qur’am dan pendidikan akhlaq, adalah ilmu pertama dan utama yang diperoleh dari kakek dan ayahnya.
Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta,
kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia
(Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, kawan karib KH Ahmad
Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya
tampil sebagai muballigh yang tangguh. Tamat dari pendidikan formalnya,
Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh sesuai pengetahuan agama
yang diperolehnya. Tak segan-segan Yunus Anis terjun ke tengah-tengah
masyarakat di berbagai daerah Tanah Air untuk mengembangkan misi
dakwahnya dan sekaligus menyebar luaskan gerakan Muhammadiyah.
Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis
pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam
hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di
Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang
disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi
berkembangnya Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang
Persyarikatan Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan misi
dakwah dan gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya
sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah.
Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian
pemuda Hizbul Wathan. Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu
berkiprah sungguh-sungguh dalam membina pemuda yang berjiwa agresif dan
kreatif bersendikan nilai-nilai Islam. Dan, di kemudian hari diharapkan
menjadi gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh.
Dalam kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara
Yogyakarta, Yunus Anis tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil
menunggang kuda untuk memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya
ditunjang postur tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang
tegas dan berkesan. Tak pelak, kesan itu kemudian tersiar luas di
kalangan Muhammadiyah.
Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan
administrator. Bakat itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang
Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol
dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun
1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat
Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam
kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai
kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR
yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR
GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah
lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan
Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara
otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan
ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk
kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka
panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam
parlemen.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya
kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak
sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik,
terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi
instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti
itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
sumber
http://www.muhammadiyah.or.id/content-162-det-h-m-yunus-anis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar